Hampir saja kalian akan dihujani batu dari langit. Aku katakan: Rasulullah bersabda demikian lantas kalian membantahnya: Tapi Abu Bakar dan Umar berkata demikian?!-Ibnu Abbas. Atsar Shahih: HR. Ahmad 1/337 dan Al-Khatib dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih 1/145-
Kisah Pertama
Alkisah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ada dua orang yang sedang memaparkan nasabnya. Salah seorang berkata diantara keduanya, “Saya adalah Fulan bin Fulan.” Lalu dia bertanya (dengan nada merendahkan), “lalu kamu siapa? Engkau tidak memiliki nasab (dalam riwayat lain disebutkan ‘engkau tidak mempunyai ibu’)?”
Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh di zaman Nabi Musa ada dua orang yang menyebut nasab mereka. Salah satunya berkata, ‘Aku adalah Fulan bin Fulan (sampai ia menyebut leluhurnya yang kesembilan). Lalu kamu siapa? Engkau tidak memiliki nasab?” Lalu orang kedua menjawab, “Aku adalah Fulan bin Fulan bin Islam”
Nabi melanjutkan, “Maka Allah mewahyukan kepada Musa tentang dua orang yang membanggakan nasab mereka. “Kamu, wahai yang menisbatkan dirimu sampai nasab yang kesembilan, semuanya di neraka dan kamu yang kesepuluh. Adapun engkau, wahai yang bernasab kepada dua orang di surga, maka kamu adalah orang ketiga yang di surga”[1]
Kisah Kedua
Di awal masa pemerintahan Khalifah Rasulullah, Abu Bakar Ash Shiddiq, timbul berbagai gerakan murtad yang nyaris terjadi di seluruh Jazirah Arab. Di antara mereka ada yang enggan membayar zakat, ada yang ingin keluar dari Islam, dan ada juga orang yang mengaku-ngaku Nabi. Salah satunya adalah Musailamah Al Kadzdzab dari Bani Hanifah di Yamamah. Massa dan pengikutnya banyak meski seluruh mukjizat yang ia janjikan hanyalah omong kosong belaka. Salah satu contohnya adalah ketika seseorang meminta kepadanya untuk menyembuhkan matanya, setelah diusap oleh Musailamah maka mata orang tersebut buta. Ada lagi contohnya ketika Musailamah hendak meniru Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang meludahi sebuah sumur dan seketika air sumur itu banyak. Musailamah pun melakukannya agar dilihat seperti Nabi. Tapi sayang, sumur yang ia ludahi bukannya bertambah banyak airnya malah menjadi kering kerontang. Ada lagi sumur yang ia ludahi maka seketika airnya menjadi asin.[2]
Namun dengan semua kedustaan yang ia miliki, ia masih memiliki pendukung yang banyak. Mengapa hal itu bisa terjadi? Seorang pengikut Musailamah yang bernama Thalhah An Namiri memiliki jawabannya. Ia berkata, “Aku bersaksi bahwa Musailamah adalah pendusta sedangkan Muhammad adalah orang jujur. Akan tetapi seorang pendusta dari Bani Rabi’ah lebih aku cintai daripada orang jujur dari Bani Mudhar”[3]
Dua kisah di atas merupakan pengantar bagi pembahasan kita kali ini mengenai fanatisme golongan yang menjangkiti sebagian kaum muslimin. Dua kisah di atas sebenarnya telah menggambarkan bagi kita mengenai fanatisme kepada suatu hal bisa mengantarkan seseorang kepada neraka dan kekafiran, wa na’udzubillah. Akan tetapi, akan lebih baik dan lebih banyak manfaatnya apabila kita menggali lebih dalam mengenai fanatisme ini atau lebih dikenal dengan istilah syar’i: Ashabiyah dan Hizbiyah.
Fitnah Ashabiyah dan Hizbiyah
Ashabiyah adalah perasaan bangga terhadap suatu golongan atau garis nasab dan merendahkan orang lain yang tidak sederajat dengannya[4]. Adapun Hizbiyah, secara bahasa artinya nisbah kelompok atau kumpulan manusia[5].
Kedua-duanya (yakni ashabiyah dan hizbiyah) merupakan suatu penyakit dari zaman jahiliyah yang kini kita lihat telah mewabah di sebagian kaum muslimin. Ummat Islam yang seharusnya berada di satu jalan yang lurus, kini malah telah mengambil langkah sendiri-sendiri sehingga perpecahan tak bisa dielakkan. Sebagian kaum muslimin kini malah saling menjatuhkan satu sama lain dengan membanggakan diri mereka masing-masing. Di satu kasus ada yang berbangga dengan nasab mereka, seakan-akan nasab telah menjadikan diri mereka lebih diantara manusia. Di satu kasus lain ada sebagian orang yang bangga dengan kelompoknya masing-masing. Seperti Jama’ah A, atau Hizb B, dan mereka saling mentahdzir (boikot). Sungguh, inilah yang disebut di dalam Al Qur’an sebagai pemecah belah agama Islam yang mulia ini.
“...Dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar Ruum: 31-32)
Inilah yang menyelisihi aturan Allah dan RasulNya. Agama ini adalah agama persatuan dan bukan agama perpecahan.
“Dan Janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” (QS. Ali Imran: 105)
“Dan perpeganglah kamu semuanya kepada tali (Agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai” (QS. Ali Imran: 103)
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya” (QS. Asy Syuura: 13)
Fanatisme Kesukuan dan Nasab
Kisah pertama yang telah dipaparkan di awal pembahasan ini merupakan sebuah kisah mengenai orang yang membanggakan diri mereka dengan nasab. Kisah itu merupakan sebuah pelajaran bahwa berbangga dengan nasab merupakan sebuah tindakan yang sangat dicela dalam Islam. Namun sekarang, justru banyak di antara kaum muslimin yang ternyata memiliki kegemaran suka berbangga dengan keturunan atau bangga dengan nenek moyang.
Contoh kasus yang paling sering melanda sebagian kaum muslimin adalah ketika kaum muslimin yang seharusnya memberantas penyakit jahiliah malah terjerat dengan fitnah yang dinamakan pelestarian budaya. Sebagian kaum muslimin dengan fitnah yang disebut pelestarian budaya ini menghalalkan berbagai hal-hal yang telah diharamkan oleh Allah. Mereka melaksanakan budaya-budaya munkar yang penuh dengan kesyirikan atau kesia-siaan belaka sebagai bentuk menghormati nenek moyang mereka. Mereka sebut itu sebagai pelestarian budaya yang harus dipertahankan. Padahal, berpegang teguh dengan budaya yang munkar apalagi harus terus melaksanakannya merupakan sebuah kesalahan besar. Dan ini merupakan perkara dari zaman jahiliah yang sampai sekarang masih mengakar di sebagian kaum muslimin.
Penyakit ini telah ada sejak zaman dahulu ketika para Nabi dan Rasul menyebarkan agama Allah ini. Tidak jarang dakwah para Nabi sering dijegal dikarenakan kebudayaan yang telah mengakar secara turun temurun.
“(Rasul itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?" Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya." (QS. Az Zukhruf: 34)
Bahkan dalam berdakwah, para Nabi juga kerap menggunakan kata-kata yang berkaitan dengan leluhur kaumnya yang berkaitan dengan penyembahan Allah. Karena mereka tahu, bahwa mereka akan ikut jika leluhur mereka melakukannya.
“Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menghidupkan dan Yang mematikan (Dialah) Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu yang terdahulu.” (QS. Ad Dukhaan: 8)
“Patutkah kamu menyembah Ba'l dan kamu tinggalkan Sebaik-baik Pencipta, (yaitu) Allah Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu yang terdahulu?" (QS. Ash Shaffat: 125-126)
Karena itu, ketika mereka digugat maka alasan mereka sama, karena perbuatan munkar yang mereka kerjakan telah ada dari nenek moyang mereka.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami" (QS. Al Baqarah: 170)
Allah ‘azza wa jalla membantah ucapan ini,
“(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al Baqarah: 170)
Lihatlah apa yang dilakukan oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu ketika di samping beliau ada orang yang berbangga dengan kebanggaan jahiliyah. Ubay kemudian berbalik merendahkan bapaknya dan tidak membanggakannya. Lalu Ubay pun berkata, “Adapun aku, maka aku mengetahui apa yang terjadi pada diri kalian. Sesungguhnya aku tidak dapat melakukan kecuali hal seperti itu. Aku melihat Rasulllah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang berbangga dengan kebanggaan jahiliah, maka rendahkanlah bapaknya dan jangan kalian banggakan”[6]
Hadits lain dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Hendaklah suatu kaum menyudahi dari berbangga dengan bapak-bapak mereka yang telah mati, mereka adalah bahan bakar neraka Jahannam atau hal itu lebih ringan di sisi Allah dibandingkan kumbang yang menyingkirkan kotoran di hidungnya. Sesungguhnya Allah telah membuang dari kalian kebanggaan jahiliah terhadap bapak-bapak pendahulu. Manusia itu hanyalah mu’min yang bertakwa atau fajir yang celaka. Manusia seluruhnya adalah keturunan Adam dan Adam diciptakan dari tanah”[7]
Sementara itu, lihatlah apa yang dilakukan oleh Salman Al Farisi, seorang sahabat Nabi, seorang perantau dari negeri Persia. Ketika sekelompok laki-laki sedang berkumpul dan menyebut-nyebut bapak-bapak mereka, maka ketika gilirannya Salman berkata, “Saya adalah Ibnul Islam (putera Islam)”. Tatkala kabar tersebut didengar oleh Umar bin Khattab, beliau menangis dan mengatakan, “Saya pun Ibnul Islam”[8]
Fanatisme Golongan
Inilah fitnah yang saat ini lebih banyak dan lebih menjamur di kalangan kaum muslimin bila dibandingkan dengan fitnah pertama. Fitnah fanatisme golongan dan kelompok. Tidak jarang kita melihat sesama ormas atau kelompok atau golongan yang sama-sama memakai nama Islam sebagai asasnya ternyata justru saling menyerang, memaki, memboikot dan lain-lain.
Masing-masing kelompok mengatakan bahwa kelompoknya benar. Mereka saling adu argumen dengan memakai tokoh masing-masing. Padahal, seharusnya yang kita ambil adalah Qaalallaah wa Qaala Rasulullah, bukan Qila wa Qaala atau Qaala Fulan (Allah berfirman dan Rasulullah bersabda, bukan katanya dan katanya atau telah berkata si fulan...)
Yang paling parah dari fitnah ini adalah ketika orang awam menganggap semua yang dikatakan tokoh dari sebuah ormas tertentu selalu benar. Atau mungkin istilah lainnya adalah taklid buta karena menganggap seseorang itu selalu benar. Dan inilah yang saya lihat bila seseorang telah terjerumus ke dalam hizbiyah ini.
Orang yang berpijak pada tokohnya dalam urusan agama dan ibadah (tanpa memerhatikan Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ ulama), maka pada hakikatnya ia telah menjadikan orang itu sebagai tuhan, dan ini adalah kebiasaan Yahudi dan Nasrani. Allah berfirman, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah...” (QS. At Taubah: 31)
Ketika Adi bin Hatim mendengar ayat ini dia berkata, “Wahai Nabi! Kami bukan menyembah mereka.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Bukankah tokoh mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah lalu mereka ikut mengharamkannya, dan mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah lalu mereka ikut menghalalkannya?” Adi bin Hatim menjawab, “Jika demikian, maka benar.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Itulah namanya menyembah mereka”[9]
Ada satu kasus lagi yang makin menambah pilu perasaan kaum muslimin. Di mana mereka terkadang sering saling menyalahkan karena berbeda madzhab. Memang, menisbatkan sesuatu kepada ahli fiqh dari madzhab tertentu tidak dilarang. Tetapi bukan berarti bahwa tiap madzhab boleh mengklaim bahwa hanya madzhab mereka yang benar.
Ada suatu kisah yang mungkin sangat memilukan. Suatu hari, ada serombongan orang Jepang hendak berniat masuk Islam dan mendalami agama ini. mereka datang ke suatu Islamic Center di Jepang dan mereka diterima oleh seorang yang berkebangsaan India. Orang ini pun berkata bahwa mereka (rombongan orang Jepang) harus mengikuti madzhab Abu Hanifah (Hanafi). Akan tetapi, ketika itu ada seorang muslim Indonesia yang mendengar perkataan itu dan malah membantah orang India dan berkata bahwa rombongan itu harus mengikuti madzhab Imam Syafi’i (Syafi’iyah). Kedua muslim ini pun berdebat dan akhirnya rombongan orang Jepang itu bingung melihat cekcok yang terjadi sehingga mereka tidak jadi masuk Islam dan meninggalkan tempat tersebut.[10]
Demikianlah yang terjadi bila ada yang fanatik kepada kelompoknya. Sehingga mereka hanya melihat figur yang menjadi sumber teladannya tanpa melihat dari mana seharusnya keteladanan dan kebenaran itu diambil. Khilafiyah (perbedaan pendapat) di dunia Islam memang sudah tidak bisa dipungkiri lagi. Akan tetapi lihatlah firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisaa’: 59)
Kita memang perlu (bahkan wajib) mengikuti pendapat para ulama dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama ini dan yang perlu dijelaskan lagi. Akan tetapi, mengikuti pendapat para ulama bukan berarti fanatik kepada pendapatnya sehingga menolak pendapat yang lain. Padahal, sudah seharusnya kita melihat dan berpikir lebih jernih lagi. Bahwa yang kita ikuti itu pendapatnya atau ijtihadnya yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bukan orangnya atau figurnya. Karena jika hanya figur yang kita ikuti maka yang terjadi hanyalah taklid buta semata. Adapun jika kita mengikuti berdasarkan ijtihadnya dari Qur’an dan Hadits maka insya Allah kita tidak akan masuk ke dalam fitnah tersebut. Dan jika ada berbagai perbedaan pendapat di antara kita, maka ingatlah firman Allah di atas, “...Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul...”
Bahkan, para imam empat madzhab –rahimahumullah ajma’in- telah menjelaskan kepada kita wajibnya mengikuti Qur’an dan Sunnah. Mereka menyebutkan secara tersirat dan tersurat larangan akan taklid atas pendapat mereka dan larangan tentang fanatik kepada ijtihad (pendapat) mereka masing-masing.
Imam Abu Hanifah (An Nu’man bin Tsabit) rahimahullah berkata, “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegangan kepada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.”[11]
“Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tinggalkanlah perkataanku.”[12]
“Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku”[13]
Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, tinggalkanlah.”[14]
Imam Muhammad bin Idris (Imam Asy Syafi’i) rahimahullah berkata, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang banginya Sunnah Rasulullah rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang”[15]
“Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka berkatalah dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tinggalkanlah apa yang aku katakan!”[16]
“Apabila hadits itu shahih, maka dia adalah madzhabku”[17]
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i, dan Tsauri (mereka semua adalah para ulama, rahimahumullah ajma’in-pen), tapi ambillah dari mana mereka mengambil”[18]
“Barang siapa yang menolak Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran”[19]
Kesimpulan
Bahwa sesungguhnya ashabiyah atau hizbiyah merupakan penyakit dari zaman jahiliyah, yang mampu memecah belah ummat. Hukumnya jelas tidak boleh karena nash-nash dari Qur’an maupun Sunnah telah kami paparkan pada awal pembahasan ini.
Sekali pun yang kita ikuti adalah seorang ulama, tapi seorang ulama adalah manusia biasa. Bisa saja salah atau pun lupa. Maka dari itu, sebaik-baiknya teladan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu a’lam.
Referensi:
Al Qur’anul Karim
Al Mubasysyaruna bil Jannah, Muhammad Ahmad ‘Isa. Edisi Indonesia: 10 Sahabat Nabi Dijamin Surga. Penerbit: Pustaka Imam Syafi’i
Shahih Qashash An Nabawi, Umar Sulaiman Al Asyqar. Edisi Indonesia: Ensiklopedi Kisah Shahih Sepanjang Zaman. Penerbit: Yassir.
Sifat Shalat Nabi, Muhammad Nashiruddin Al Albani. Penerbit: Gema Risalah Press
Majalah Al Furqon no. 93 edisi 12 tahun ke 8
Majalah Al Furqon no. 121 edisi 7 tahun ke-11
Mukhtashar Siratir Rasul, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Edisi Indonesia: Mukhtashar Sirah Nabawi. Penerbit: Pustaka Al Qowam
Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir. Edisi Indonesia: Perjalanan Hidup 4 Khalifah Rasul yang Agung. Penerbit: Darul Haq
Diselesaikan di Bogor pada Rabu 22 Februari 2012
Artikel Cafe Sejenak
[1] Sanadnya Shahih: HR. Ahmad dalam Musnad-nya (5/128); Adh Dhiya’ dalam Al Mukhtarah; Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani memasukkannya ke dalam kitab beliau Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah (3/265) dan berkomentar, “Ini sanadnya shahih. Rawi-rawinya adalah rawi-rawi (yang sesuai dengan kriteria) Syaikhain (Imam Bukhari dan Muslim), kecuali Yazid bin Abi Ziyad bin Abul Jaad, dia derajatnya tsiqah (terpercaya). Lihat: Shahih Qashash An Nabawi, Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar
[2] Lihat Mukhtashar Siratir Rasul, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab; Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir.
[3] Tarikh Ath Thabari (3/286); Lihat Al ‘Asyarah Al Mubasysyaruna bil Jannah, Muhammad Ahmad ‘Isa.
[4] Majalah Al Furqon no. 93 edisi 12 tahun ke 8 hlm. 51
[5] Qamush Al Muhith, hlm. 94
[6] Shahih: HR. Ahmad 43.244 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Misykah 2/594 no. 4902
[7] Shahih: HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Misykah 2/594 no. 4899
[8] Lihat Shahih Qashash An Nabawi, Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar; Majalah Al Furqon no. 93 edisi 12 tahun ke 8 hlm. 51
[9] Syarh Masaail Jaahiliyah 1/66-68; Lihat Majalah Al Furqon no. 121 edisi 7 tahun ke-11 hlm. 12
[10] Muqaddimah Halil Muslim Mulzam bi Ittiba’ Madzhabin Mu’ayyan, Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi.
[11] Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam I’lamul Muwaqqi’in 2/309; Asy Sya’rani dalam Al Mizan 1/55
[12] Al Fulani dalam Al Iqazh hlm. 50. Lihat Shifat Shalat Nabi, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
[13] Al Iqazh Al Himam hlm. 62; Ibn Abidin dalam Al Hasyiyah 1/63
[14] Ibn ‘Abdil Barr dalam Al Jami’ 2/32
[15] I’lamul Muwaqqi’in 2/361; Al Iqazh hlm. 68
[16] Imam Nawawi dalam Al Majmu’ 1/63; I’lamul Muwaqqi’in 2/361
[17] Al Iqazh hlm. 107. Lihat Shifat Shalat Nabi, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
[18] I’lamul Muwaqqi’in 2/302
[19] Ibnul Jauzi dalam Al Manaqib hlm. 182
0 komentar:
Posting Komentar