Demi Allah! Sungguh, mencintainya (dunia) benar-benar termasuk dosa yang terbesar. Dan tidaklah dosa-dosa menjadi bercabang-cabang melainkan karena cinta dunia. Bukankah sebab disembahnya patung-patung serta dimaksiatinya Ar-Rahman tak lain karena cinta dunia dan lebih mengutamakannya?-Hasan Al Bashri, Mawa'izh Al Imam Al Hasan Al Bashri, hlm. 138-
Alhamdulillah,
wasshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma
ba’du.
Mungkin
sudah terlalu terlambat untuk membuat “catatan awal tahun” mengingat ketika
artikel ini ditulis, kalender masehi menunjukkan bulan kedua, bulan Februari. Dan
di bulan Februari ini, ada satu tanggal yang biasanya dijadikan hari raya bagi
para pemuja hawa nafsu, terutama di kalangan remaja: Hari Valentine.
Hari
yang diklaim oleh banyak pihak sebagai hari cinta dan kasih sayang. Berbagai
tema kehidupan langsung berubah di tanggal ini. Bagi pusat-pusat perbelanjaan,
maka akan langsung mengubah dekorasi gedungnya dengan warna-warni yang cerah.
Berbagai kemasan produk pun disesuaikan dengan tema Hari Valentine ini. Tidak
ketinggalan, acara-acara di televisi pun mengubah formatnya dengan tambahan
“-Spesial Valentine”
Di
sini kami tidak ingin membahas panjang lebar mengenai apa itu hari valentine,
bagaimana hukum syar’i-nya, namun kami hanya ingin memaparkan sebuah kisah,
yang semoga bisa menjadi pengobat bagi mereka yang kecanduan cinta akan hawa
nafsu mereka. Saya bukanlah ustadz, guru, apalagi ulama. Pengetahuan kami akan
ilmu Al Qur’an dan Al Hadits masih sangat minim. Yang kami akan sampaikan
adalah yang sebuah kisah yang kami kutip dari situs PemudaMuslim.com.
Suatu
hari, ada seorang pemuda yang mendatangi Rasulullah ﷺ, pemuda itu kemudian
berkata, “Wahai Rasulullah, izinkanlah aku berzina!”
Mendengar
perkataan yang sedemikian lancang itu kepada Nabi ﷺ, maka para sahabat pun
memperingatkan si pemuda, “Diam kamu! Jangan bicara seperti itu!”
Rasulullah
ﷺ yang mendengar hal itu bukannya membentak, tetapi justru menyusuh si pemuda
itu mendekat kepadanya. Setelah si pemuda duduk di dekat Rasulullah ﷺ, beliau
bertanya,
“Apakah
engkau suka kalau ibumu berzina?”
Pemuda
itu menjawab, “Demi Allah tidak! Semoga Allah menjadikan aku sebagai tebusanmu”
Nabi
ﷺ pun menjawab, “Demikian juga orang lain. Mereka tidak mau kalau ibu mereka
berzina”
Kemudian
Nabi bertanya lagi : “Apakah engkau suka kalau putrimu berzina?”
Dia
menjawab, “Demi Allah tidak ya Rasulullah! Semoga Allah menjadikan aku sebagai
tebusanmu”
Nabi
ﷺ, “Demikian juga orang lain. Mereka tidak mau kalau anak perempuan mereka
berzina”
Kemudian
Nabi ﷺ bertanya lagi, “Apakah engkau suka kalau saudari perempuanmu berzina?”
Dia
menjawab, “Demi Allah tidak! Semoga Allah menjadikan aku sebagai tebusanmu”
Nabi
ﷺ pun menjawab, “Demikian juga orang lain. Mereka tidak mau kalau saudari
perempuan mereka berzina”
Kemudian
Nabi ﷺ bertanya lagi, “Apakah engkau suka kalau saudara perempuan ayahmu
berzina?”
Dia
menjawab, “Demi Allah tidak! Semoga Allah menjadikan aku sebagai tebusanmu”
Nabi
ﷺ pun menjawab, “Demikian juga orang lain. Mereka tidak mau kalau saudara
perempuan ayah mereka berzina”
Kemudian
Nabi ﷺ bertanya lagi, “Apakah engkau suka kalau saudara perempuan ibumu
berzina?”
Dia
menjawab, “Demi Allah tidak! Semoga Allah menjadikan aku sebagai tebusanmu”
Nabi
ﷺ pun menjawab, “Demikian juga orang lain. Mereka tidak mau kalau saudara
perempuan ibu mereka berzina”
Kemudian
Nabi Muhammad ﷺ meletakkan tangan beliau kepada si pemuda itu seraya
mendoakannya, “Ya Allah, ampunilah
dosanya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya”
Setelah
itupun si pemuda sama sekali tidak punya keinginan lagi untuk berzina. (HR. Ahmad dalam Musnad-nya dengan sanad shahih)
Inilah
kisah Nabi Muhammad ﷺ yang menunjukkan kepada kita, bagaimana itu sebenarnya
hikmah dalam berdakwah. Di dalam kisah ini ketika si pemuda menyampaikan
keinginannya yang kebelet zina kepada Rasulullah ﷺ, beliau tidak memarahinya,
mengusirnya, atau bahkan melaknatnya karena keinginannya tersebut (padahal zina
adalah termasuk dosa besar), namun justru Rasulullah ﷺ mengajari si pemuda itu
untuk menjauhi zina. Rasulullah ﷺ tidak menggunakan dalil-dalil dari Al Qur’an
untuk mendakwahi si pemuda, karena beliau tahu kapasitas si pemuda tersebut.
Beliau hanya cukup memberi pengertian yang tepat akan nistanya zina itu
sendiri.
Begitu
pun di zaman ini. Ketika kawula muda sedang larut-larutnya dalam euforia cinta
mereka, sehingga tanpa sadar mereka melanggar batas-batas agama ini, maka sudah
seharusnya kita mengajak mereka untuk kembali ke jalan kemuliaan Islam. Mungkin
telinga mereka panas mendengar dalil-dalil dari Qur’an dan Hadits, karena itu
kami ingin mengingatkannya dengan menggunakan cara ini, cara yang telah
ditempuh oleh Rasulullah ﷺ lebih dari satu milenium yang lalu.
Bagaimana
perasaan kita, wahai ikhwah, jika melihat ibu, saudara perempuan, atau bahkan
putri kalian digoda dan dirayu oleh lelaki nista? Tidakkah hati kita sakit? Dan
sekarang, wahai ikhwah, tidakkah kita malu, tidakkah kita sedih, melihat
wanita-wanita kaum muslimin direndahkan dan dibuang harga dirinya dengan budaya
nista bertopeng kasih sayang dan cinta?
Jika
memang benar-benar cinta, maka kenapa tidak dinikahi saja? Apakah alasan belum
mampu menikah menjadi dalil pembenaran? Yang namanya perwujudan cinta itu butuh
namanya kemampuan, dan kalau hanya berani lewat pacaran, atau valentine-an,
atau apa pun namanya tetapi tak berani untuk memikul tanggung jawab, maka itu
bukanlah perwujudan cinta, tetapi hanya permainan belaka.
Karena
itu wahai ikhwah, ingatlah betapa besarnya mudharat dari yang ditimbulkan dari
cinta yang nista, cinta yang berlandaskan hawa nafsu belaka.
Wallahu
musta’an.
Selesai
ditulis ketika waktu ashar menjelang
Surabaya,
13 Februari 2013
Artikel
Cafe Sejenak
0 komentar:
Posting Komentar