Bagaimana Jilbab yang Benar dan Sesuai Syari'at

24 November 2012

“Siapa yang memakai pakaian untuk ketenaran di dunia maka Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada hari kiamat kemudian dinyalakan api padanya”
-HR. Abu Daud dan Ibnu Majah-

Beberapa saat yang lalu di saat libur tahun baru 1434 H, penulis menyempatkan dirinya untuk pulang kampung ke Bogor. Banyak hal yang dilalui penulis selama libur tersebut, diantaranya jalan-jalan ke salah satu pusat perbelanjaan yang terkenal di Bogor, Botani Square. Lama tidak bertemu mall selama kuliah di Surabaya, penulis merasakan kejut budaya (rasanya). Penulis melihat begitu banyak wanita berjilbab dengan berbagai hiasan-hiasan besar di atasnya. Entah itu sekedar manik-manik saja, hingga hiasan bunga yang bahkan ukurannya lebih besar daripada kepala wanita itu sendiri. Yah, itulah yang kini sering disebut hijaber. Penulis tidak tahu, apakah hijaber adalah istilah baru atau lama. Tapi yang jelas penulis merasa heran dengan adanya fenomena hijaber tersebut (disamping istilah jilbab gaul yang sudah lama terdengar gaungnya)

Semestinya memang harus disyukuri, ketika muslimah sudah memutuskan untuk mengenakan hijab sebagai sebuah bentuk pengamalan dari syariat yang mulia ini. Tetapi ketika syariat yang diturunkan dari langit itu bertubrukan dengan mode yang berkembang di kolong langit ini, maka masihkan pengamalan itu disebut murni?


Bukan masalah, ketika ada wanita yang menggunakan hijab setiap harinya, demi menjaga kehormatannya. Tetapi ketika hijab tidak lagi sebagai penjaga kehormatan tapi sudah menjadi penarik perhatian, masihkan hijab itu disebut layak pakai?

Heran, ketika jilbab dihias sedemikian rupa, dirupa-rupakan dengan sedemikian cantiknya. Maka untuk siapa sesungguhnya jilbab itu? Seandainya pengandaian, bahwa seorang wanita berhijab untuk mengejar cinta Rabbnya, maka wanita hijaber, cinta siapa yang engkau kejar?

Al ‘Ilmu Qabla Al Qaul wal ‘Amal

Seharusnya jika memang wanita-wanita hijaber itu ingin berjilbab, maka seharusnya sebelumnya mengetahui ilmunya, sesuai kaidah Al ‘Ilmu Qabla Al Qaul wal ‘Amal (Ilmu sebelum berkata dan beramal)

Bagaimana sebenarnya jilbab yang syar’i?

Yang pertama, menutupi seluruh badan.

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)

Yang kedua, tidak diberi hiasan-hiasan hingga mengundang pria untuk melihatnya.

Katakanlah (wahai Nabi) kepada wanita-wanita yang beriman: hendaklah mereka menundukkan pandangan mata dan menjaga kemaluan mereka, dan jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa nampak darinya. Hendaklah mereka meletakkan dan menjulurkan kerudung di atas kerah baju mereka (dada-dada mereka)” (QS. An Nur: 31)

Yang ketiga, tebal dan tidak tipis.

Rasulullah bersabda:

Akan ada nanti di kalangan akhir umatku para wanita yang berpakaian tapi hakikatnya mereka telanjang…

Kemudian Beliau bersabda:

…Laknatlah mereka karena sesungguhnya mereka itu terlaknat.” (HR. Ath Thabrani dalam Al Mu’jam Ash Shaghir dengan sanad shahih. Lihat Jilbab Al Mar`ah Al Muslimah, hlm. 125)

Ibnu Abdil Barr berkata, “Yang dimaksud Nabi dalam sabdanya (di atas) adalah para wanita yang mengenakan pakaian dari bahan yang tipis yang menerawangkan bentuk badan dan tidak menutupinya maka wanita seperti ini istilahnya saja mereka berpakaian tapi hakikatnya mereka telanjang.”

Yang keempat, lebar dan tidak sempit.

Usamah bin Zaid berkata, “Rasulullah memakaikan aku pakaian Qibthiyah yang tebal yang dihadiahkan oleh Dihyah Al Kalbi kepada beliau maka aku memakaikan pakaian itu kepada istriku. Suatu ketika Beliau bertanya: ‘Mengapa engkau tidak memakai pakaian Qibthiyah itu?’ Aku menjawab: ‘Aku berikan kepada istriku.’ Beliau berkata: ‘Perintahkan istrimu agar ia memakai kain penutup setelah memakai pakaian tersebut karena aku khawatir pakaian itu akan menggambarkan bentuk tubuhnya.” (HR. Adh Dhiya` Al Maqdisi, Ahmad, dan Baihaqi)

Yang kelima, tidak diberi wangi-wangian.

Rasulullah bersabda:

Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian lalu ia melewati sekelompok orang agar mereka mencium wanginya maka wanita itu pezina.” (HR. An Nasai, Abu Dawud dan lainnya)

Yang keenam, tidak menyerupai pakaian laki-laki.

Abu Hurairah mengatakan, “Rasulullah melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan lainnya)

Yang ketujuh, tidak menyerupai pakaian wanita kafir.

Karena Rasulullah dalam banyak sabdanya memerintahkan kita untuk menyelisihi orang-orang kafir dan tidak menyerupai mereka baik dalam hal ibadah, hari raya/perayaan ataupun pakaian khas mereka.

Yang kedelapan, bukan merupakan pakaian untuk ketenaran, yakni pakaian yang dikenakan dengan tujuan agar terkenal di kalangan manusia, sama saja baik pakaian itu mahal/mewah dengan maksud untuk menyombongkan diri di dunia atau pakaian yang jelek yang dikenakan dengan maksud untuk menampakkan kezuhudan dan riya‘.

Ibnul Atsir berkata, “Pakaian yang dikenakan itu masyhur di kalangan manusia karena warnanya berbeda dengan warna-warna pakaian mereka, hingga manusia mengangkat pandangan ke arahnya. Jadilah orang tadi merasa bangga diri dan sombong. Rasulullah bersabda,

Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia maka Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada hari kiamat kemudian dinyalakan api padanya.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah)

Ibnu Atsir berkata mengenai pakaian syuhrah, “Syuhrah adalah sesuatu yang menonjol. Yang dimaksud dengan pakaian syuhrah adalah pakaian yang menyebabkan pemakai menjadi mencolok di tengah-tengah masyarakat disebabkan warna pakaiannya menyelisihi warna pakaian yang umum dipakai masyarakat. Akhirnya banyak orang menatap tajam orang yang memakai pakaian tersebut dan pemakainya sendiri lalu merasa dan bersikap sombong terhadap orang lain” (Dikutip Asy Syaukani dalam Nailul Authar juz 2 hal 470)

Syaikh Al Albani berkata, “Pakaian syuhrah adalah setiap pakaian yang diniatkan agar terkenal pada manusia. Baik pakaian itu mahal/berharga, yang pemakainya mengenakannya untuk membanggakan dengan dunia dan perhiasannya, atau pakaian buruk/rendah yang pemakainya mengenakannya untuk menampakkan zuhud (menjauhi dunia) dan riya” (Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hlm. 213)

Demikianlah penjelasan yang kami nukil dari kitab Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, sebagaimana ditulis dalam situs Asy Syariah Online

Haruskah Jilbab Berwarna Hitam?

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata,

“Ketika turun firman Allah, “Hendaknya mereka (wanita-wanita beriman) mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” (QS. Al Ahzab:59) wanita-wanita Anshar keluar seolah-olah pada kepala mereka terdapat burung-burung gagak karena warna (warna hitam-red) kain-kain (mereka).” (HR. Abu Daud. Dishahihkan oleh Syaikh al Albani)

Hadits ini menunjukkan bahwa wanita-wanita anshar tersebut mengenakan jilbab-jilbab berwarna hitam. Namun secara khusus, tidak ada warna jilbab tertentu yang wajib digunakan, tapi jilbab tersebut haruslah pakaian yang tidak menarik perhatian dan tidak menyebabkan fitnah. Jilbab haruslah pakaian yang secara adat kebiasaan tidak menarik perhatian dan menyebabkan fitnah bagi yang melihat para wanita itu. Karena Allah jalla wa `alaa berfirman,

Dan tetaplah kalian (para wanita) di rumah-rumah kalian, dan janganlah kalian ber-tabarruj (berhias) sebagaimana ber-tabarrujnya para wanita jahiliah dahulu” (QS. Al-Ahzab: 33)

Para ulama berkata berkata bahwa tabarruj adalah menampakkan kecantikan dan perhiasan wanita. Maka pakaian yang merupakan adat kebiasaan yang berwarna hitam atau tidak, merah, biru, ataupun hijau jika itu adalah pakaian yang sudah biasa dan tidak ada perhiasan dan kecantikan yang menarik perhatian, maka inilah yang seharusnya. (Lihat selengkapnya fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz di http://www.ibnbaz.org.sa/mat/18614)

Demikianlah pembahasan yang dapat kami sampaikan dalam artikel ini, semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam.

Diselesaikan di waktu matahari dhuha menyinari langit Surabaya
Sabtu, 24 November 2012 M/10 Muharram 1434 H
Artikel Cafe Sejenak

Artikel Terkait



0 komentar:

Posting Komentar