“Siapa yang memakai pakaian untuk ketenaran di dunia maka Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada hari kiamat kemudian dinyalakan api padanya”-HR. Abu Daud dan Ibnu Majah-
Beberapa saat yang lalu di saat libur tahun baru 1434 H, penulis menyempatkan
dirinya untuk pulang kampung ke Bogor. Banyak hal yang dilalui penulis selama
libur tersebut, diantaranya jalan-jalan ke salah satu pusat perbelanjaan yang
terkenal di Bogor, Botani Square. Lama tidak bertemu mall selama kuliah di Surabaya,
penulis merasakan kejut budaya (rasanya). Penulis melihat begitu banyak wanita
berjilbab dengan berbagai hiasan-hiasan besar di atasnya. Entah itu sekedar
manik-manik saja, hingga hiasan bunga yang bahkan ukurannya lebih besar
daripada kepala wanita itu sendiri. Yah, itulah yang kini sering disebut
hijaber. Penulis tidak tahu, apakah hijaber adalah istilah baru atau lama. Tapi
yang jelas penulis merasa heran dengan adanya fenomena hijaber tersebut
(disamping istilah jilbab gaul yang sudah lama terdengar gaungnya)
Semestinya memang harus disyukuri,
ketika muslimah sudah memutuskan untuk mengenakan hijab sebagai sebuah bentuk
pengamalan dari syariat yang mulia ini. Tetapi ketika syariat yang diturunkan
dari langit itu bertubrukan dengan mode yang berkembang di kolong langit ini,
maka masihkan pengamalan itu disebut murni?
Bukan masalah, ketika ada wanita yang
menggunakan hijab setiap harinya, demi menjaga kehormatannya. Tetapi ketika
hijab tidak lagi sebagai penjaga kehormatan tapi sudah menjadi penarik
perhatian, masihkan hijab itu disebut layak pakai?
Heran, ketika jilbab dihias
sedemikian rupa, dirupa-rupakan dengan sedemikian cantiknya. Maka untuk siapa
sesungguhnya jilbab itu? Seandainya pengandaian, bahwa seorang wanita berhijab
untuk mengejar cinta Rabbnya, maka wanita hijaber, cinta siapa yang engkau
kejar?
Al ‘Ilmu Qabla Al Qaul wal ‘Amal
Seharusnya jika memang wanita-wanita
hijaber itu ingin berjilbab, maka seharusnya sebelumnya mengetahui ilmunya,
sesuai kaidah Al ‘Ilmu Qabla Al Qaul wal
‘Amal (Ilmu sebelum berkata dan beramal)
Bagaimana sebenarnya jilbab yang syar’i?
Yang pertama, menutupi seluruh badan.
”Hai
Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang
mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Yang kedua, tidak diberi hiasan-hiasan hingga
mengundang pria untuk melihatnya.
“Katakanlah
(wahai Nabi) kepada wanita-wanita yang beriman: hendaklah mereka menundukkan
pandangan mata dan menjaga kemaluan mereka, dan jangan menampakkan perhiasan
mereka kecuali apa yang biasa nampak darinya. Hendaklah mereka meletakkan dan
menjulurkan kerudung di atas kerah baju mereka (dada-dada mereka)” (QS. An Nur: 31)
Yang ketiga, tebal dan tidak tipis.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Akan
ada nanti di kalangan akhir umatku para wanita yang berpakaian tapi hakikatnya
mereka telanjang…”
Kemudian Beliau ﷺ bersabda:
“…Laknatlah
mereka karena sesungguhnya mereka itu terlaknat.” (HR. Ath Thabrani dalam Al Mu’jam
Ash Shaghir dengan sanad shahih. Lihat Jilbab
Al Mar`ah Al Muslimah, hlm. 125)
Ibnu Abdil Barr berkata, “Yang
dimaksud Nabi ﷺ dalam
sabdanya (di atas) adalah para wanita yang mengenakan pakaian dari bahan yang
tipis yang menerawangkan bentuk badan dan tidak menutupinya maka wanita seperti
ini istilahnya saja mereka berpakaian tapi hakikatnya mereka telanjang.”
Yang keempat, lebar dan tidak sempit.
Usamah bin Zaid berkata, “Rasulullah ﷺ memakaikan aku pakaian Qibthiyah
yang tebal yang dihadiahkan oleh Dihyah Al Kalbi kepada beliau maka aku
memakaikan pakaian itu kepada istriku. Suatu ketika Beliau ﷺ bertanya: ‘Mengapa engkau tidak memakai pakaian Qibthiyah itu?’ Aku menjawab:
‘Aku berikan kepada istriku.’ Beliau berkata: ‘Perintahkan istrimu agar ia memakai kain penutup setelah memakai pakaian
tersebut karena aku khawatir pakaian itu akan menggambarkan bentuk tubuhnya.”
(HR. Adh Dhiya` Al Maqdisi, Ahmad, dan Baihaqi)
Yang kelima, tidak diberi wangi-wangian.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Wanita
mana saja yang memakai wangi-wangian lalu ia melewati sekelompok orang agar
mereka mencium wanginya maka wanita itu pezina.” (HR. An Nasai, Abu Dawud dan lainnya)
Yang keenam, tidak menyerupai pakaian laki-laki.
Abu Hurairah mengatakan, “Rasulullah ﷺ melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai
pakaian laki-laki.”
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan lainnya)
Yang ketujuh, tidak menyerupai pakaian wanita
kafir.
Karena Rasulullah ﷺ dalam banyak sabdanya memerintahkan
kita untuk menyelisihi orang-orang kafir dan tidak menyerupai mereka baik dalam
hal ibadah, hari raya/perayaan ataupun pakaian khas mereka.
Yang kedelapan, bukan merupakan pakaian untuk
ketenaran, yakni pakaian yang dikenakan dengan tujuan agar terkenal di kalangan
manusia, sama saja baik pakaian itu mahal/mewah dengan maksud untuk menyombongkan
diri di dunia atau pakaian yang jelek yang dikenakan dengan maksud untuk
menampakkan kezuhudan dan riya‘.
Ibnul Atsir berkata, “Pakaian yang
dikenakan itu masyhur di kalangan manusia karena warnanya berbeda dengan
warna-warna pakaian mereka, hingga manusia mengangkat pandangan ke arahnya.
Jadilah orang tadi merasa bangga diri dan sombong. Rasulullah ﷺ bersabda,
“Siapa
yang memakai pakaian syuhrah di dunia maka Allah akan memakaikannya pakaian
kehinaan pada hari kiamat kemudian dinyalakan api padanya.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah)
Ibnu Atsir berkata mengenai pakaian
syuhrah, “Syuhrah adalah sesuatu yang menonjol. Yang dimaksud dengan pakaian
syuhrah adalah pakaian yang menyebabkan pemakai menjadi mencolok di
tengah-tengah masyarakat disebabkan warna pakaiannya menyelisihi warna pakaian
yang umum dipakai masyarakat. Akhirnya banyak orang menatap tajam orang yang
memakai pakaian tersebut dan pemakainya sendiri lalu merasa dan bersikap
sombong terhadap orang lain” (Dikutip Asy Syaukani dalam Nailul Authar juz 2 hal 470)
Syaikh Al Albani berkata, “Pakaian
syuhrah adalah setiap pakaian yang diniatkan agar terkenal pada manusia. Baik
pakaian itu mahal/berharga, yang pemakainya mengenakannya untuk membanggakan
dengan dunia dan perhiasannya, atau pakaian buruk/rendah yang pemakainya
mengenakannya untuk menampakkan zuhud (menjauhi dunia) dan riya” (Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hlm. 213)
Demikianlah penjelasan yang kami nukil
dari kitab Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani, sebagaimana ditulis dalam situs Asy Syariah Online.
Haruskah Jilbab Berwarna Hitam?
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata,
“Ketika turun firman Allah, “Hendaknya mereka (wanita-wanita beriman)
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” (QS. Al Ahzab:59) wanita-wanita Anshar keluar seolah-olah pada
kepala mereka terdapat burung-burung gagak karena warna (warna hitam-red)
kain-kain (mereka).” (HR. Abu Daud. Dishahihkan
oleh Syaikh al Albani)
Hadits ini menunjukkan bahwa
wanita-wanita anshar tersebut mengenakan jilbab-jilbab berwarna hitam. Namun secara
khusus, tidak ada warna jilbab tertentu yang wajib digunakan, tapi jilbab
tersebut haruslah pakaian yang tidak menarik perhatian dan tidak menyebabkan
fitnah. Jilbab haruslah pakaian yang secara adat kebiasaan tidak menarik
perhatian dan menyebabkan fitnah bagi yang melihat para wanita itu. Karena Allah
jalla wa `alaa berfirman,
“Dan
tetaplah kalian (para wanita) di rumah-rumah kalian, dan janganlah kalian
ber-tabarruj (berhias) sebagaimana ber-tabarrujnya para wanita jahiliah dahulu”
(QS. Al-Ahzab: 33)
Para ulama berkata berkata bahwa tabarruj
adalah menampakkan kecantikan dan perhiasan wanita. Maka pakaian yang merupakan
adat kebiasaan yang berwarna hitam atau tidak, merah, biru, ataupun hijau jika
itu adalah pakaian yang sudah biasa dan tidak ada perhiasan dan kecantikan yang
menarik perhatian, maka inilah yang seharusnya. (Lihat selengkapnya fatwa
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz di http://www.ibnbaz.org.sa/mat/18614)
Demikianlah pembahasan yang dapat
kami sampaikan dalam artikel ini, semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam.
Diselesaikan di waktu matahari dhuha
menyinari langit Surabaya
Sabtu, 24 November 2012 M/10 Muharram
1434 H
Artikel Cafe Sejenak
0 komentar:
Posting Komentar