“Berpeganglah kamu sekalian dengan sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin setelahku. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia erat-erat dengan gigi gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan, karena setiap amalan yang diada-adakan itu bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”-HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah-
Segala puji hanya bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, beserta keluarganya, para sahabatnya, serta pengikutnya yang istiqamah
di atas sunnahnya.
Hadits yang disebutkan di atas
merupakan hadits yang memiliki pesan makna yang sangat dalam. Ya, apalagi untuk
kita, kaum muslimin di era modern ini. Ketika kita yang hidup di zaman yang
ilmu merupakan barang langka di masyarakat kita, kita yang mengaku kaum
muslimin ini rasanya gampang sekali terbawa arus fitnah dunia kala ini. Dan
kini ketika kita menengok kembali wasiat dari pembimbing kita, Rasulullah ﷺ, di sana kita temukan wasiat untuk
berpegang kepada sunnah dan menjauhi bid’ah. Namun yang menjadi masalah kita
saat ini, apa itu sunnah yang harus kita pegang? Dan apa itu bid’ah yang harus
kita jauhi? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, maka simaklah pembahasannya
dalam artikel ini.
Definisi Sunnah
Secara bahasa, sunnah adalah metode
(jalan) dan perilaku, yang baik maupun yang buruk. (Ibnu Manzhur, dalam Lisanul ‘Arab 13/225)
Sementara itu, para ulama juga telah
mendefinisikan sunnah secara istilah.
Ibnu Rajab Al Hanbali berkata,
“Sunnah adalah cara yang ditempuh Rasulullah ﷺ. Termasuk berpegang teguh kepada apa yang menjadi
landasan beliau ﷺ dan para Khulafaurrasyidin, baik dalam keyakinan perbuatan,
maupun perkataan. Inilah sunnah yang sempurna.” (Jaami’ul Ulum wal Hikam I/20)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“(Sunnah berarti) mengikuti jejak Rasulullah ﷺ secara lahir dan batin, mengikuti jalan para
pendahulu yang utama dari kalangan Muhajirin dan Anshar.” (Majmuu’ Fataawa III/157)
Sehingga, bisa kita simpulkan bahwa
sunnah adalah petunjuk yang menjadi pedoman Rasulullah ﷺ dan para sahabat beliau, baik dalam
keilmuan, keyakinan, ucapan, maupun perbuatan. Itulah sunnah yang wajib
diikuti, dipuji pelakunya, dan dicela orang yang menyelisihinya. (Syaikh Sa’id
nin Ali bin Wahf Al Qahthani, Nuurussunnah
wa Zhulumatul Bid’ah)
Wajibnya Mengikuti Sunnah Nabi dan
Para Sahabatnya
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Apa
saja yang disampaikan Rasul kepada kamu, terimalah. Dan apa saja yang
dilarangnya bagi kamu, maka tinggalkanlah” (QS. Al Hasyr: 7)
“Sungguh
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu)
bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhir, dan banyak mengingat Allah”
(QS. Al Ahzab: 21)
“Katakanlah
(wahai Muhammad), Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 54)
“Dan
orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan
Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai,
mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung” (QS. At Taubah: 100)
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Barangsiapa
yang menolak sunnahku maka dia bukanlah bagian dariku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Umatku
akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka,
kecuali satu golongan.” Para sahabat bertanya, “Siapa golongan itu, wahai
Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Golongan
yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku berada” (HR. Tirmidzi)
“Sungguh
telah aku tinggalkan bagi kalian dua perkara . kalian tidak akan tersesat jika
berpegang dengan keduanya. Yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Kalian tidak akan
berpecah hingga nanti kalian sampai di telagaku” (HR. Hakim, Ad Daruquthni, dan Baihaqi)
Perkataan Para Ulama untuk Mengikuti
Sunnah dan Tidak Bertaklid kepada Mereka
Imam Abu Hanifah berkata,
“Apabila saya mengemukakan suatu
pendapat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits Rasulullah ﷺ, maka tinggalkanlah perkataanku!” (Al Liqaazh hlm. 50)
“Apabila hadits itu shahih, maka
itulah madzhabku” (Al Haasyiyah I/63)
“Tidak halal bagi seorang pun
mengambil pendapat kami, selama ia tidak mengetahui dari mana kami mengambil
pendapat tersebut” (I’lamul Muwaqqi’in
II/309)
Imam Malik berkata,
“Saya ini hanya seorang manusia, bisa
salah dan bisa benar, maka telitilah pendapatku. Setiap pendapatku yang sesuai
dengan Al Qur’an dan Sunnah, maka ambillah pendapat tersebut. Dan setiap
pendapatku yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah, maka tinggalkanlah
pendapat itu!” (Ushuulul Ahkam
VI/149)
Imam Asy Syafi’i berkata,
“Apabila kamu mendapatkan di dalam
kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah ﷺ, maka berkatalah dengan Sunnah
Rasulullah ﷺ dan
tinggalkanlah apa yang aku katakan!” (I’lamul
Muwaqqi’in 2/361)
“Kaum muslimin telah sepakat bahwa
barang siapa yang telah terang banginya Sunnah Rasulullah ﷺ, maka tidak halal baginya untuk
meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang” (I’lamul Muwaqqi’in 2/361)
Imam Ahmad bin Hanbal berkata,
“Jangan kalian bertaqlid kepadaku,
dan jangan pula bertaqlid kepada Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i, dan Ats Tsauri.
Tapi ambillah dari mana mereka mengambil” (I’lamul
Muwaqqi’in 2/302)
“Barangsiapa yang menolak hadits
Rasulullah ﷺ, maka ia
berada pada jurang kehancuran” (Al
Manaaqib, hlm. 182)
Ibnu Rajab Al Hanbali berkata,
“Wajib hukumnya bagi orang yang telah
sampai kepadanya perintah Rasulullah ﷺ dan mengetahuinya, untuk menjelaskannya kepada ummat,
menasihati mereka, dan menyeru mereka supaya mengikuti perintah beliau.
Walaupun perintah tersebut menyelisihi pendapat tokoh pemuka dalam ummat.
Sebab, perintah Rasulullah ﷺ lebih berhak untuk diutamakan dan diikuti daripada pendapat
para tokoh mana pun” (Liqaazhul Himam,
hlm. 93)
Keutamaan Mengikuti Sunnah
Mengikuti Sunnah Nabi Muhammad ﷺ sangatlah banyak keutamaannya.
Diantaranya,
Yang pertama, selamat dari siksa api neraka.
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Umatku
akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka,
kecuali satu golongan.” Para sahabat bertanya, “Siapa golongan itu, wahai
Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Golongan
yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku berada” (HR. Tirmidzi)
Yang kedua, mencegah kesesatan.
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Sungguh
telah aku tinggalkan bagi kalian dua perkara . kalian tidak akan tersesat jika
berpegang dengan keduanya. Yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Kalian tidak akan
berpecah hingga nanti kalian sampai di telagaku” (HR. Hakim, Ad Daruquthni, dan Baihaqi)
Yang ketiga, dimasukkan ke dalam surga Allah.
“Barangsiapa
taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga
yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan
itulah kemenangan yang besar.” (QS.
An Nisaa’: 13)
Yang keempat, menyelamatkan cobaan dan adzab
Allah.
“Maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan
atau ditimpa azab yang pedih.” (QS.
An Nuur: 63)
Dan masih banyak lagi keutamaan lain
yang bisa kita dapatkan ketika kita mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ. (Selengkapnya, silakan lihat
risalah yang berjudul Fadhu Ittiba’is
Sunnah, karya Syaikh Dr. Muhammad bin Umar Bazmul)
Pengertian Bid’ah
Setelah tadi kita mengenal apa itu
sunnah, maka kini kita beralih pada pembahasan seputar bid’ah.
Secara bahasa, bid’ah berarti membuat
sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat Al
Mu’jam Al Wasith, 1/91)
Adapun secara istilah syar’i, maka
para ulama memiliki definisi yang beragam. Diantaranya apa yang dituturkan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
“Bid’ah adalah i’tiqad (keyakinan)
dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan)
salaf.” (Majmu’ Al Fataawa, 18/346)
Selain itu, ada pula definisi yang
datang dari Imam Syathibi.
“Bid’ah adalah ungkapan (untuk) jalan
beragama yang baru, yang menyerupai syariat dan maksud dikerjakannya adalah
untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah” (Al I’tisham, 1/23)
Dan secara ringkas, bid’ah yang
dimaksud dalam hadits-hadits Nabi ﷺ mengenai bid’ah adalah sebagaimana yang dituturkan
Imam Jauhari,
“Bidah
adalah perkara baru dalam agama setelah (agama itu) sempurna” (Ilmu Ushulil
Bida’, hlm. 24)
Seluruh Bid’ah Dalam Agama itu Sesat
Ketahuilah, bahwa seluruh bid’ah itu
sesat. Namun ada saja orang-orang yang mengklaim bahwa ritual-ritual bid’ah
dalam ibadah yang mereka lakukan itu mereka katakan sebagai perbuatan baik,
sebagai sebuah kebaikan, atau yang sering disebut bid’ah hasanah. Padahal,
telah jelas dalil dari Nabi Muhammad ﷺ,
“Jauhilah
oleh kalian perkara-perkara baru (dalam agama), karena setiap perkara baru
(dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat” (HR. Ahmad, Hakim, Ibnu Majah, dll.)
Dan simaklah perkataan orang-orang
yang jauh lebih paham agama setelah Rasulullah ﷺ.
Abdullah bin Umar berkata, “Setiap
bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik” (Al Ibanah Al Kubra li Ibni Baththah, 1/219)
Abdullah bin Mas’ud ketika beliau
melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat sekelompok orang yang membentuk
majelis. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah
diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,
“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku
adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan
hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian!
Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau ﷺ juga belum rusak. Bejananya pun
belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam
agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka
pintu kesesatan (bid’ah)?”
Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai
Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Betapa
banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim
Asad bahwa sanad hadits ini jayid)
Bahaya Perbuatan Bid’ah
Sesungguhnya bahaya perbuatan bid’ah
itu amatlah banyak kerusakannya. Dan banyaknya kerusakan dan bahaya yang muncul
dari bid’ah, diantaranya adalah:
Yang pertama, amalannya tertolak
“Barangsiapa
yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak”
(HR. Muslim)
Sungguh merugi pelaku bid’ah. Sudah
beramal banyak tapi ternyata ditolak.
“Katakanlah:
"Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling
merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi:
103-104)
Yang kedua, terhalangnya taubat dari pelaku
bid’ah
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Sesungguhnya
Allah menghalangi taubat dari setiap
ahli bid’ah” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim,
dikuatkan dari jalur Anas bin ‘Iyadl Al Laits Al Madani. Dishahihkan Al Albani
dalam Ash Shahihah dan Shahih At Targhib wat Tarhib juz I hlm. 97)
Mengapa bisa demikian? Karena
perbuatan bid’ah yang dianggap baik maka pelakunya akan sulit keluar dari
bid’ah tersebut.
Sufyan Ats Tsauri berkata, “Bid’ah
itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku
maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat”
(Talbis Iblis, hlm. 22)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Oleh karena itu para imam seperti
Sufyan Ats Tsauri dan lainnya menyatakan bahwa sesungguhnya bid’ah itu lebih
dicintai iblis daripada maksiat karena pelaku bid’ah tidak diharapkan taubatnya
sedangkan pelaku maksiat diharapkan taubatnya. Makna ucapan mereka bahwa pelaku
bid’ah tidak diharapkan taubatnya karena seorang mubtadi’ yang menjadikan
bid’ahnya sebagai Dien yang tidak disyariatkan Allah dan Rasul-Nya telah
tergambar indah baginya amal jeleknya itu sehingga ia memandangnya baik. Maka
ia tidak akan bertaubat selama dia memandangnya sebagai perkara yang baik.
Karena awal taubat itu adalah pengetahuan bahwa perbuatannya itu jelek sehingga
dia mau bertaubat. Atau perbuatannya meninggalkan kebaikan yang diperintahkan,
baik perintah wajib maupun mustahab agar dia bertaubat darinya dengan
melaksanakan perintah tersebut. Selama dia memandang perbuatannya itu baik
padahal jelek, maka dia tidak akan bertaubat.” (Majmu’ Fatawa juz 10 hlm. 9)
Yang ketiga, terhalang dari telaga dan
syafa’atnya Rasulullah ﷺ.
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Aku
akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa
orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka
dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini
adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah
yang mereka buat sesudahmu.’ ” (HR.
Bukhari no. 7049)
Dalam riwayat lain,
“(Wahai
Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya
engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.”
Kemudian aku (Rasulullah ﷺ) mengatakan, “Celaka, celaka bagi
orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari no. 7051)
Yang keempat, menanggung dosa orang yang
mengerjakan bid’ah.
Sungguh buruk orang yang mengajarkan
dan mengarahkan manusia ini kepada bid’ah. Rasulullah ﷺ bersabda,
“Barangsiapa
melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka
akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa
mengurangi dosanya sedikitpun.” (HR.
Muslim no. 1017)
Yang kelima, mendapatkan laknat.
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Barangsiapa
yang membuat bid’ah atau menolong ahli bid’ah, maka baginya laknat Allah, para
malaikat, dan manusia seluruhnya” (HR.
Bukhari no. 6367 dan Muslim no. 1371)
Penutup
Suatu hari ketika Rasulullah ﷺ bersama para sahabatnya, beliau
menggambar garis lurus di atas tanah dan menggariskan garis-garis lain di kanan
dan kirinya. Kemudian beliau ﷺ menunjuk garis lurus tersebut seraya berkata, “Ini adalah jalan Allah”. Dan beliau
menunjuk garis-garis yang bercabang di kanan dan di kirinya dengan mengatakan:
”Ini adalah jalan-jalan sesat, di setiap
ujung jalan-jalan ini terdapat setan yang menyeru kepadanya”. Kemudian
beliau membaca ayat,
“Dan
bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia.
Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah
agar kamu bertakwa.” (QS. Al An’am:
153)
(HR.
Ibnu Abi ‘Ashim)
Demikian yang mampu kami sampaikan,
semoga bermanfaat bagi kita semua.
Wa shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aali hi wa shahbihi wa
sallam, Akhiru da’wana anil hamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin.
Sumber Penulisan
Buletin Al Furqon, Tahun ke-7 Vol. 8 No. 2.
Diterbitkan oleh Majalah Al Furqon, Srowo-Sidayu-Gresik.
Tegar di Atas Sunnah Ibarat
Menggenggam Bara Api. Kompilasi dari tulisan-tulisan ulama ahlussunnah. Disusun oleh Tim
Media Tarbiyah. Penerbit: Media Tarbiyah, Bogor.
Almanhaj.or.id
Abuayaz.blogspot.com
Abul-jauzaa.blogspot.com
Muslim.or.id
Muslim.or.id
Rumaysho.com
Surabaya, 4 November 2012
Di waktu dhuha menggantung di langit
Artikel Cafe Sejenak
1 komentar:
Untuk mendalam pembahasan tentang bid'ah ini, ada penelitian menarik, silahkan lihat download di : http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-islamika/article/view/5308
Posting Komentar