“Ketahuilah, kita adalah kaum yang paling hina, lalu Allah memuliakan dengan mendatangkan agama Islam. Karena itu jika kita mencari kemuliaan dengan selain Islam, maka Dia akan menghinakan kita”-Umar bin Khattab, Lihat dalam Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah-
Umar bin Khaththab namanya. Ia adalah orang yang telah
meruntuhkan Kerajaan Kisra Persia dan juga telah menghapus hegemoni Kaisar
Romawi –dengan izin Allah-. Ia seorang penguasa Islam dengan kesahajaannya yang
memukau. Ya, Ia yang dengan tenang tidur di bawah pohon kurma di Kota Madinah
sementara penguasa lain tidur di atas kemewahan, ia yang memakai pakaian tenun
sederhana sementara penguasa lain memakai pakaian bertahtakan permata.
Dan kini, Ia sedang berjalan menuju Syam dalam rangka
penyerahan Baitul Maqdis kepada kaum muslimin. Dalam perjalanan itu ia sempat
melewati sebuah sungai. tidak disangka, ia langsung turun, mengalungkan sepatunya,
dan menuntun sendiri untanya! Ketika penguasa lain yang telah merasa tinggi
dengan kedudukannya merasa hina ketika turun langsung menuntun kendaraannya,
Khulafaurrasyidin ini dengan ‘rendah hati’nya berjalan seorang diri, menyeberangi
sungai sambil menuntun untanya.
Melihat hal itu, salah seorang sahabat berkata (riwayat lain
menyebutkan bahwa sahabat itu ialah Abu Ubaidah bin Jarrah), “Wahai Amirul
Mukmunin, para tentara dan pembesar negeri Syam akan menyambut Anda, tetapi
Anda seperti itu keadaannya?”
Sahabat itu tidak berkata demikian tanpa alasan. Bayangkan saja,
seorang Amirul Mukminin, yang sedang ditunggu kedatangannya, yang telah
dinanti-nanti oleh para penyambutnya, yang telah dibayangkan bagaimana
kemuliaannya, bagaimana kehormatannya, bagaimana harta dan kemewahannya oleh
para penduduk Syam yang telah terbiasa mengukur kemuliaan lewat materi dunia. Jika
orang-orang Syam itu melihat kondisi ini, duhai, bagaimana kiranya anggapan
mereka?
Namun, Umar bin Khattab radhiyallahu
‘anhu menjawab keraguan sahabat itu,
“Sesungguhnya kami adalah kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam. Karena itu kami tidak akan mencari kemuliaan selain dengan Islam.”
Atau dalam riwayat lain dari jalur Ibnu Syihab disebutkan,
“Ketahuilah, kita adalah kaum yang paling hina, lalu Allah memuliakan dengan mendatangkan agama Islam. Karena itu jika kita mencari kemuliaan dengan selain Islam, maka Dia akan menghinakan kita.”(HR. Hakim, lihat dalam Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah Jilid I karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani)
Islam, Sebuah Jalan
Kemuliaan
Ketika seseorang menilai kemuliaan dari harta saja, maka
alangkah ruginya ia. Sebuah pelajaran dari sejarah kita menunjukkan, betapa
celakanya para pencari kemuliaan lewat harta.
Qarun, si hartawan besar dari zaman Nabi Musa. Yang bahkan
kunci gudang hartanya saja dipikul oleh beberapa orang (saking besarnya). Namun,
apalah arti kemuliaan dari harta bila tanpa adanya iman dan Islam?
“Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan Tiadalah ia Termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya)” (QS. Al Qashash: 81)
Ketika
seseorang menilai kemuliaan dari tahta saja, duhai meruginya ia. Belumkah
sampai kepadanya kisah Fir’aun, Sang Penikmat Dunia. Yang kerajaannya merupakan
salah satu kerajaan termaju di masa lalu. Namun, apakah kemuliaan itu adalah
kemuliaan yang mampu menyelamatkannya?
“Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir'aun dan kaumnya...” (QS. Al A’raaf: 137)
“Dan Kami tenggelamkan (Fir'aun) dan pengikut-pengikutnya” (QS. Al Baqarah: 50)
Dan ketika seorang mengukur kemuliaan dari nasabnya, maka sungguh salah ia.
Tidakkah kita pernah membaca bagaimana mulianya nasab Abu Lahab dan bagaimana
kedudukannya di dalam kaumnya? Namun sungguh, celakalah ia yang hanya mulia
dari sisi nasabnya saja.
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan Sesungguhnya Dia akan binasa” (QS. Al Lahab: 1)
Alangkah indahnya perkataan Ibnu Rajab Al Hanbali rahimahullah yang dinukil dalam Jaami’ul
Ulum wal Hikam,
“Tidaklah seseorang (bernilai) kecuali dengan agamanya. Maka janganlah engkau meninggalkan ketakwaan dan bersandar kepada nasab. Sungguh Islam telah mengangkat Salman Al-Farisi (yang bukan orang arab). Dan kesyirikan telah merendahkan orang yang bernasab tinggi si Abu Lahab”
Bagaimana Islam ini memuliakan suatu kaum yang terhina, mengangkat suatu
kaum yang bodoh, menguatkan kaum yang lemah. Dalam Islam tidak dilihat
bagaimana rupa seseorang, bagaimana harta seseorang, bagaimana posisi seorang
dalam masyarakatnya. Tapi yang dilihat adalah bagaimana keIslamannya.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS. Al Hujurat: 13)
Ikhwah fillah, tengok bagaimana seorang Bilal, seorang budak sebatang kara
dari negeri Habasyah, yang diinjak-injak kehormatannya oleh majikannya, Umayyah
bin Khalaf. Namun lihatlah, ketika majikannya yang termasuk dalam penghuni
neraka, sandal Bilal telah melangkahinya hingga ke surga![1]
Ikhwah fillah, kita yang telah menjadi seorang muslim, sudah seharusnya
bersyukur telah mendapatkan kemuliaan yang besar ini. Dan sudah saatnya bagi
kita untuk berintrospeksi diri kita kembali, apakah kita telah menjadi seorang
yang mulia dengan keIslaman kita? Apakah kita masih mencari kemuliaan lain
selain menjadi seorang muslim yang kaffah? Yaa ikhwah, saatnya kita menunjukkan
kemuliaan kita sebagai muslim, bukan dengan harta, bukan dengan tahta, tapi
dengan ketaqwaan kita.
Wallahu musta’an.
Sumber Penulisan: alquran-sunnah.com | assunnahfm.com
Surabaya, 28
September 2012
Ba’da Shalat
Jum’at
Artikel CafeSejenak
[1] Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Di
pagi hari setelah shalat shubuh, Rasulullah bertanya kepada Bilal, “Wahai
bilal, kabarkan kepadaku suatu amalan mulia yang kau amalkan dalam Islam,
sungguh aku mendengar suara kedua sandalmu di surga.” Bilal kemudian berkata,
“Aku tidaklah beramal dengan suatu amalan yang sangat bisa diharapkan. Akan
tetapi, tidaklah aku berthaharah (berwudhu) melainkan setelah itu aku iringi
dengan shalat 2 rakaat dari apa yang telah ditetapkan bagiku.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
0 komentar:
Posting Komentar