Peran Muslimah Dalam Dakwah

21 Februari 2010
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Kubuka lembaran pagi dengan menyebut asma-Mu Yang Maha Tinggi. Ku coba meniti hari dengan kesucian hati, meski sungguh selaksa dosa masih melekat di jiwa. Kucoba merenda masa depan dengan benang harapan dan jarum ketulusan. Meski kadang perih menusuk, perjuangan ini harus tetap berlanjut.

Terbentang di depan mata padang ujian kehidupan, luas…, seolah tanpa batas, namun fana seumur akal yang sempit. Ia tak dapat diarungi oleh jiwa-jiwa yang kerdil iman, karena panasnya nafsu telah menyeretnya ke lembah-lembah oase fatamorgana. Namun, hati yang bertabur syukur, penuh kerinduan kepada Rabbnya, berhiaskan cahaya iman akan menuntunnya menuju negeri akhir kebahagiaan.
Wahai saudariku kaum muslimah, engkau laksana pilar kebijaksanaan. Di tanganmulah kelak tumbuh generasi-generasi yang tangguh. Di pundakmu ada amanah besar, bersamanya tersimpan berjuta asa, penentu arah sebuah generasi menuju kejayaan umat.
Wahai kaum muslimah, engkaulah calon-calon ibu masa depan. Ada ketegaran di balik kelembutanmu. Tersimpan jiwa ksatria di balik lemah tubuhmu. Sungguh Islam telah memuliakanmu. Dengan indah, Rasulullah menggambarkan betapa agung engkau wahai ibu…
Ketika suatu saat salah seorang sahabat Beliau bertanya tentang target bakti paling tinggi (Setelah Allah dan Rasul-Nya)? Lantas beliau menjawab “Ibumu,” lalu kepada siapa lagi? “Ibumu”, kemudian? “Ibumu”, kemudian? “Ayahmu”. Begitulah Islam telah menempatkanmu pada kedudukan yang mulia, di saat dalam agama dan bangsa lain engkau dihina dan direndahkan.
Saudariku! Hidup ini bukan tanpa makna dan tujuan. Sebagaimana firman Allah yang tersirat dalam Al-Qur’an Al-Karim, bahwa tujuan dari penciptaan manusia dan jin adalah untuk beribadah kepada Allah.
Dikatakan juga oleh Imam Hasan Al-Bashri, bahwa hidup ini adalah perjuangan. Hidup takkan berarti tanpa perjuangan, perjuangan takkan berarti tanpa pengorbanan, pengorbanan takkan berarti tanpa kesabaran, dan kesabaran takkan berarti tanpa keimanan.
Ketika hidup ini diuji, maka dimulailah suatu perjuangan. Perjuangan untuk menundukkan nafsu dan angkara yang ada dalam jiwa kita. Akan sanggupkah jiwa ini tetap kokoh dalam keimanan? Atau justru terperosok dalam lembah keputusasaan. Tidak salah lagi, di sinilah dituntut adanya kesabaran dan pengorbanan, yakni pengorbanan atas perasaan kita dari nafsu atau keinginan yang tak pernah puas. Keinginan untuk terus dalam basuhan kenikmatan, keinginan untuk terus larut dalam lautan sanjungan.
Saudariku…
Berbahagialah engkau, ketika wanita- wanita lain larut dalam kemaksiatan, berlomba meraup kebahagiaan semu di luar sana dengan mengobral aurat mereka, engkau tetap di rumah menjaga kesucian dirimu. Ketika wanita lain berhias dengan mode ala Baratnya, engkau sibuk berhias mempercantik diri dengan balutan ilmu dan ketakwaan.
Saudariku Kaum Muslimah, engkaulah madrasah awal pendidikan umat, dari rahimmu akan lahir generasi baru yang siap memikul amanah dakwah dan menegakkan panji- panji Al-Haq, dalam naungan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka persiapkanlah dirimu. Isilah jiwamu dengan ruh iman, dan biarkan mutiara-mutiara berhamburan dari lisanmu yang bersih, tertata dengan indah menjadi bingkai-bingkai pekerti yang luhur, yang senantiasa mengingatkan umat dari kelalaian.
Saudariku…
 Marilah sejenak menata diri. Menengok sekilas perjalanan para shahabiyah, yang keindahan perjuangannya telah tertulis dengan tinta emas dalam sejarah. Seperti ibunda Khadijah seorang isteri sekaligus partner dakwah Rasulullah . Ia tak pernah lelah membantu dakwah Rasulullah, dengan memberikan bantuan secara moril dan materil. Al-Khansa yang telah merelakan ke empat puteranya menjadi Jundullah, sehingga mereka syahid dalam pertempuran membela agama Allah. Atau Sumayyah syahidah pertama dalam Islam. Karena keteguhan iman serta kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya, ia merelakan diri dan keluarganya menerima pedihnya siksaan kaum Quraisy, hingga menemui kesyahidan.
Ingatlah kembali… di dalam lembaran Al-Qur’an pun Allah menyebutkan beberapa wanita mulia yang namanya tetap harum dalam bingkai sejarah umat yang sekaligus Allah jadikan teladan bagi kita. Seperti Asiyah, isteri yang mulia dari seorang raja yang lalim, yakni Fir’aun. Kekuasaan dan kelaliman suaminya tidak mempengaruhi kekuatan iman di hatinya, bahkan semakin berkilau dalam tempaan ujian.
Asiyah adalah seorang wanita yang diuji dengan dua keadaan, antara tetap menikmati segala kemewahan yang selama puluhan tahun telah ia reguk namun tetap dalam kekufuran ataukah meninggalkan segala kenikmatan itu dengan menerima keimanan sebagai penggantinya dan siap menanggung segala konsekuensi yang ia sadari akan diterima. Ini adalah situasi yang sulit yang kebanyakan wanita pada saat ini tidak sanggup melakukannya. Bersabar dari kemiskinan saja sudah sulit, apalagi jika harus bersabar dari tidak menikmati kemewahan yang biasa dinikmati dan meninggalkannya demi Allah semata.
Oleh karenanya, pilihan Allah sangatlah tepat dengan menjadikan Asiyah sebagai tauladan bagi kita. Karena ia lebih memilih apa yang di sisi-Nya ketika banyak para wanita pada saat ini menanggalkan keimanannya demi mereguk kenikmatan dunia yang sesaat. Alangkah baiknya jika kita bisa seperti Asiyah dan sering-sering memohon kepada Allah untuk dijadikan sebagai wanita yang berharga di sisi-Nya.
Begitupun halnya dengan ibunda Nabi Isa , Maryam. Ia seorang wanita Shalihah yang teguh menjaga kesucian dirinya. Kehidupannya banyak dihabiskan untuk beribadah kepada Rabb-nya. Dan masih banyak lagi kisah-kisah teladan dari para shahabiyah, maupun generasi setelahnya, tabi’in, tabi’ut tabi’in, yang jiwanya bercahaya dalam kilauan iman. Hingga membuat dunia berdecak kagum, mengenal keagungan pribadi mereka.
Sekarang saudariku…,
 masih adakah pribadi- pribadi para shahabiyah tersebut melekat dalam diri-diri kita? Memang terlampau sukar untuk kita bisa menyerupai mereka. Namun sebuah usaha untuk bisa meneladani mereka adalah bukti dari kesungguhan kita dalam meniti kebajikan, sebagai buah dari keimanan. Dakwah kita pun dalam keluarga dan masyarakat merupakan salah satu wujud merealisasikan keimanan.
Dakwah tidak berarti harus selalu tampil di depan umum berceramah. Dengan selalu mendukung dan menyemangati suami dalam berdakwah, Atau mempersiapkan anak- anak kita sebagai tunas-tunas baru dalam dunia dakwah. Mendidik dan mengarahkan mereka hingga benih- benih keimanan mengakar dengan kuat dalam jiwa-jiwa mereka. Ataupun senjata kita cuma pena dan lembaran- lembaran kertas, yang mengajak umat untuk kembali pada Al-Haq. Itu semua merupakan upaya- upaya di jalan dakwah.
Saudariku… Alangkah bahagianya bila kita bagian dari dakwah, mengajak umat pada kebaikan. Karena seperti yang telah dikatakan Rasulullah , bahwa satu orang yang mendapatkan hidayah dengan perantaraan kita, maka hal itu lebih baik dari unta merah. Yang mana unta merah merupakan binatang paling mahal dan mewah di masa Rasulullah . Maka bersegeralah dalam kebaikan. Meski bekal yang kita punya sedikit, namun jangan sampai menghalangi kita untuk berjuang di jalan dakwah. Karena dakwah adalah tugas kita, sekecil apapun semoga Allah membalasnya. Bukankah pahala di sisi Allah lebih berharga dibanding dunia dan isinya.
Seorang Muslimah yang dalam jiwanya mengakar kuat keimanan, maka akalnya akan tajam membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Tempaan tarbiyah imaniyah akan mengokohkan tekadnya, lurus tidak terpengaruh arus zaman. Ia laksana permata di antara batu-batu sungai, kecil tersembunyi namun kilauannya dapat menyinari sekelilingnya.
Saudariku…
Dengan kemampuan yang serba terbatas, marilah kita berusaha memberikan yang terbaik bagi umat, bersama meretas sebuah masa depan. Diiringi niat tulus dan untaian doa yang tersusun dalam bingkai keikhlasan, Semoga Allah menjayakan umat ini dan melindunginya dari segala makar kaum kuffar.
Waallahu ‘alam bisshawab.
(sumber: Gerimis)

Artikel Terkait



0 komentar:

Posting Komentar