“Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut, Dia mencintai kelembutan dalam segala urusan”-HR. Bukhari-
Sejenak,
mari kita kembali ke zaman dahulu kala, kembali pada lembaran sejarah dunia
yang dinodai oleh kekafiran seorang Fir’aun. Ya, diktator nomor 1 sepanjang
sejarah manusia ini merupakan penguasa sebuah peradaban yang paling maju di
dunia saat itu. Harta, tahta, dan dunia seakan keseluruhan adalah miliknya. Tapi
memang dasar Fir’aun, ia yang tidak akan pernah merasa puas, Ia yang tak merasa
cukup menjadi manusia saja, ia ingin menjadi lebih daripada itu, ia memiliki
obsesi untuk melampaui batas-batas kemanusiaan. Ya, ia ingin menjadi TUHAN.
“Kemudian (Fir’aun) berkata, “Akulah tuhanmu
yang paling tinggi”” (QS. An
Naazi’at: 24)
Dan dengan
segala kekuasaan yang ia miliki, ia daulat dirinya sendiri sebagai Rabb semesta
alam. Tangan besi Fir’aun yang telah merampas kehormatan ribuan atau mungkin
jutaan manusia telah memaksa mereka untuk tunduk patuh secara mutlak kepada
titahnya. Entah berapa lama Fir’aun telah merasakan “sensasi” menjadi Tuhan
hingga akhirnya Allah utus ke tengah-tengah negeri Fir’aun itu Nabi yang mulia,
Musa dan saudaranya Harun ‘alaihimussalam.
Dan sekarang,
perhatikanlah bagaimana Allah subhanahu
wa ta’ala memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun untuk menghadap Fir’aun
demi mematahkan keangkuhan dan kekafirannya dan menggiring manusia kepada
kebenaran,
“Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun,
sesungguhnya dia telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya
dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” (QS. Thaahaa: 43-44)
Lihatlah
bagaimana Allah ‘azza wa jalla
memerintahkan nabi-Nya untuk berdakwah kepada seorang Fir’aun. Bayangkan,
seorang Hitler yang hanya membuat Eropa berkecamuk dalam perang besar dan
memakan korban jutaan jiwa sudah digambarkan sebagai orang yang paling bengis
di dunia, seorang Stalin yang hanya bertanggung jawab atas kematian massal
jutaan rakyatnya sudah dikategorikan sebagai diktator kejam berdarah dingin.
Bagaimana dengan Fir’aun, yang merupakan penguasa terbesar di zamannya, yang
telah memaksa manusia sujud kepadanya, yang tega membunuh bayi yang baru keluar
dari perut ibunya? Masya Allah...super banget
deh!
Tetapi
lihat, apakah Allah kemudian menyuruh Nabi Musa dan Harun untuk langsung
melaknatnya? Tidak. Allah menyuruh mereka untuk berdakwah, untuk menyampaikan
kebenaran di hadapan Fir’aun.
Dan
bagaimana mereka harus menyampaikan kebenaran itu? Apakah dengan
pemberontakkan? Apakah dengan sumpah serapah? Apakah dengan cacian dan makian? Sungguh,
tidaklah mereka diperintahkan berdakwah kecuali dengan cara yang lemah lembut.
Refleksi Diri: Bersikap Lemah Lembutlah dalam Berdakwah
Sungguh bagus
apa yang telah dikatakan oleh Khalifah yang masyhur, Harun Al Rasyid rahimahullah, untuk menggambarkan
bagaimana seharusnya kita bisa menimbang siapa diri kita dan siapa orang lain
itu sebenarnya.
Suatu hari
ada seseorang yang menemui Khalifah Harun Al Rasyid kemudian berkata, “Wahai
Harun, aku akan berbicara kepadamu dengan keras, dan aku ingin menasihatimu!”
Kemudian Harun Al Rasyid menjawab,
“Wahai
Fulan, aku tidak mau mendengar perkataanmu itu. Sebab aku tidaklah lebih jahat
dari Fir’aun dan engkau pun tidak lebih baik dari Musa ‘alaihissalam. Padahal Allah ta’ala
telah memerintahkan Musa untuk berkata pada Fir’aun dengan perkataan yang
lembut”[1]
Inilah yang
seharusnya dipikirkan oleh orang-orang yang berdakwah tetapi sering melampaui
batas. Mereka berdakwah kepada saudara-saudara mereka yang sesama muslim
seakan-akan yang didakwahi itu jauh lebih buruk daripada orang kafir. Inikah yang
disebut dakwah Islamiyah? Yang justru pena dan lidahnya jauh lebih tajam untuk
saudara-saudara mereka sesama kaum muslimin? Padahal si pendakwah tadi belum
tentu ia lebih baik dari yang didakwahkan, padahal si pendakwah tadi bukanlah
yang dijamin selamat dari kesalahan. Subhanallah.
Sifat
Lemah Lembut Kunci Keberhasilan Dakwah
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu” (QS. Ali
Imran: 159)
Sebagai orang
Indonesia, mari kita lihat sejarah bangsa kita sendiri. Islam masuk ke
Indonesia tidak dengan perantara pedang, tidak datang dengan para penjajah
(sebagaimana agama Kristen yang masuk bersama para penjajah), tetapi datang
dengan membawa kedamaian dan keadilan. Dan sekarang kita lihat di zaman kita. Ketika
Indonesia menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, tapi justru
memiliki segudang aliran sesat. Mulai dari Ahmadiyah, para nabi palsu asli
Indonesia, hingga agama Syi’ah.
Sekarang pertanyaannya,
mengapa Islam begitu mudah masuk ke Indonesia? Salah satu alasan paling penting
adalah karena kelemahlembutan dan akhlak para pendakwahnya. Dan satu pertanyaan
lagi, mengapa justru aliran yang menyimpang yang malah laris di negeri ini? Karena
aliran-aliran dan ajaran agama menyimpang itu menggunakan cara yang lemah
lembut dan akhlak yang baik.
Wahai saudaraku,
tidakkah kita seharusnya malu? Ajaran yang bersesuaian dengan Al Qur’an dan
Sunnah ini, ajaran agama yang lurus ini, justru kalah bersaing dengan ajaran
sempalan karena mereka melakukannya dengan akhlak dan cara yang lemah lembut. Bukankah
kita yang seharusnya memiliki kelemahlembutan tersebut? Bukankah kita yang
mengaku mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ sudah seharusnya
memiliki sifat lemah lembut ini?
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih sayang terhadap sesama mereka” (QS. Al Fath: 29)
Contoh Terbaik
Telah datang
kepada kita begitu banyak kisah-kisah dakwah para Nabi yang menggambarkan
bagaimana lembutnya dakwah mereka. Dan salah satunya, mari kita simak kisah
Nabi kita yang mulia, Rasulullah ﷺ,
Suatu suatu
hari para sahabat sedang di masjid bersama Rasulullah ﷺ. Lalu
datanglah seorang Arab badui yang
kemudian berdiri untuk buang air kecil di masjid. Para sahabat
menghardiknya namun Rasulullah ﷺ bersabda, “Janganlah kalian memutusnya, biarkanlah ia selesai kencing dulu”.
Maka mereka membiarkan orang itu selesai kencing. Setelah selesai, orang itu
dipanggil oleh Rasulullah ﷺ dan beliau bersabda, “Sesungguhnya masjid-masjid ini tidak
selayaknya di dalamnya ada sesuatu dari gangguan dan kotoran, sesungguhnya
masjid itu hanyalah untuk sholat dan membaca Al Qur’an”. Setelah itu
Rasulullah ﷺ memerintahkan seseorang untuk mengambil seember
air dan menyiram bekas kencing Arab badui tadi (HR. Bukhari no. 219)
Hadits ini
mengandung beberapa pelajaran. Diantaranya keharusan bersikap lemah lembut
terhadap orang jahil dan mengajarinya apa yang menjadi kewajibannya tanpa
bentakan jika orang itu tidak keras kepala (tidak membangkang), apalagi
terhadap orang yang kita ingin jinakkan hatinya. Hadits ini menunjukkan
kelemahlembutan Rasulullah ﷺ dan baiknya akhlak beliau.[2]
Sumber
Penulisan:
Faidah
dari kajian di Masjid Al Istiqamah Taman Yasmin Bogor, 26 Januari 2013, oleh Ustadz
Syariful Mahya Lubis, Lc. hafizhahullah.
14 Contoh Hikmah dalam Berdakwah, disusun
oleh Ustadz Abu Abdurrahman Abdullah Zaen, Lc. Penerbit: Pustaka Muslim.
Yogyakarta.
Surabaya, Jum’at
15 Februari 2013
Selesai ditulis
ketika malam menyelimuti langit Jawa Timur
Artikel
Cafe Sejenak
____________________
[1] Al Muntazham fii Taariikh Al Muluk wal Umam
(VIII/328), Ibnul Jauzi. Taariikh Al
Umam wal Muluk (VIII/358-359), Ath Thabari.
[2] Fathul Bari (I/431), Ibnu Hajar Al
Asqalani
0 komentar:
Posting Komentar