Syawwal, 3 tahun sebelum hijrah. Dua orang berjalan 60 mil dari Makkah menuju Tha’if. Mereka berdua berjalan kaki, berdebu di jalan Allah, demi menyampaikan risalah kebenaran. Tatkala sampai di Thaif, mereka berdua mendatangi tiga orang pemuka kabilah Tsaqif: Abd Yala’il, Mas’ud, dan Habib. Ketiganya putera Amr bin Umair Ats Tsaqafi. Kepada mereka bertiga disampaikanlah ajakan untuk memeluk Islam lewat lisan paling mulia. Tapi, jangankan sambutan atau balasan yang hangat dan damai, yang diterima oleh pendakwah ini malah makian dan cacian.
Salah seorang dari mereka berkata, “Jika Allah benar-benar mengutusmu, maka Dia akan merobek-robek pakaian Ka’bah”
Seorang yang lain menimpali, “Apakah Allah tidak menemukan orang lain selain dirimu?”
Orang terakhir tidak mau kalah, “Demi Allah! Aku sekali-kali tidak akan mau berbicara denganmu! Jika memang engkau seorang rasul, sungguh engkau terlalu agung untuk dibantah ucapanmu dan jika engkau seorang pendusta terhadap Allah, maka tidak patut pula aku berbicara denganmu”
Sambutan yang sangat tidak pantas bagi musafir dakwah tersebut. Dakwah dalam 10 hari di Thaif ditolak mentah-mentah oleh penduduknya. Ketika dua orang musafir ini hendak meninggalkan Thaif, mereka tidak dilepas dengan lambaian tangan perpisahan atau kenang-kenangan berharga, justru mereka diberi kenang-kenangan berupa lemparan batu dan cacian yang menyayat hati. Lemparan batu dari manusia-manusia tak bermoral itu membuat sandal Sang Pendakwah hingga berlumuran darah dari kakinya. Tidak ketinggalan, pendamping perjalanannya sekaligus anak angkatnya yang telah berusaha melindungi Sang Pendakwah itu juga turut terkena lemparan hingga kepalanya berdarah.
Perjalanan jauh dari Makkah ke Thaif, tinggal selama lebih dari seminggu, mengajak manusia kepada kebenaran, tapi justru keluar dari kota itu bagai makhluk hina yang terusir. Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan Sang Pendakwah tersebut, pastilah hancur dan sangat sedih.
Sampailah perjalanan mereka di tempat yang sekarang bernama Qarn Al Manazil. Sang Pendakwah yang jagu manusia termulia itu bertemu dengan Jibril bersama Malaikat penjaga gunung. Malaikat penjaga gunung berkata, “Wahai Muhammad! Hal itu terserah padamu. Jika engkau menghendaki aku meratakan mereka dengan Al Akhasyabain (Dua bukit besar), maka aku lakukan”
Orang yang diseru itu menjawab, “Tidak, sesungguhnya aku berharap mudah-mudahan Allah mengeluarkan dari tulang sulbi keturunan mereka orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”
-----00000-----
Kisah di atas disarikan dari yang tertulis di dalam kitab Ar Rahiqul Makhtum karya Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri. Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Bad’ul Khalq I/458 dan diriwayatkan pula oleh Imam Muslim bab Ma Laqiyyan Nabiyya Shallallahu ‘alaihi wasallam Min Adzal Musyrikin wal Munafiqin II/109. Kisah di atas mengenai Sang Pendakwah yang tidak lain adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan anak angkatnya, Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu.
Kisah agung di atas merupakan sebuah kisah yang menggambarkan bagaimana dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ummatnya. Bagaimana beratnya ujian beliau, dan bagaimana besarnya kesabaran beliau. Bisa kita bayangkan saat ini, perjalanan dakwah itu tidak mudah, harus berjalan di terik matahari gurun dari Makkah ke Thaif, harus bersusah payah mengajak orang ke jalan yang benar, tapi apa yang didapat? Hanya cemoohan dan lemparan batu. Bagaimana kita bisa bayangkan betapa hancurnya hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Bahkan disebutkan bahwa tantangan dakwah tersebut adalah kejadian yang beliau rasakan lebih berat dibandingkan dengan Perang Uhud (HR. Bukhari 3231)
Mengenai kisah di atas, Ibn Hajar Al Asqalani mengomentarinya, “Di dalam hadits ini terkandung keterangan mengenai besarnya rasa kasih sayang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya dan betapa kuat kesabaran dan kelembutan sikapnya. Hal itu selaras dengan firman Allah ta’ala (yang artinya), ‘Dengan rahmat Allah maka kamupun bersikap lembut kepada mereka’. Dan juga firman-Nya (yang artinya), ‘Tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia.’.” (Fathul Bari 6/353)
Apa yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetap tegar meski beribadah? Itu karena beliau berharap agar hasil dakwah ini bisa dituai di kemudian hari meski mungkin sekarang hal itu belum bisa terjadi. Hal itu bisa dilihat dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidak, sesungguhnya aku berharap mudah-mudahan Allah mengeluarkan dari tulang sulbi keturunan mereka orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”
“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; Sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Huud: 49)
Mengenal Musuh Dakwah
Dakwah –sebagaimana dakwahnya para Nabi dan Rasul- pasti selalu menghadapi halangan dan rintangan. Sepanjang sejarah manusia, hampir setiap yang membawa kebenaran pasti pada awalnya mendapat perlawanan. Dan dalam hal ini banyak sekali ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang musuh-musuh dakwah para Nabi.
“Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong” (QS. Al Furqan: 31)
“Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa Rasul sebelum kamu, Maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka Balasan (azab) olok-olokan mereka.” (QS. Al An’am: 10)
“Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa orang Rasul sebelum kamu Maka turunlah kepada orang yang mencemoohkan Rasul-rasul itu azab yang selalu mereka perolok-olokkan.” (QS. Al Anbiyaa: 41)
Bahkan tidak jarang para Nabi dan Rasul yang berdakwah dikatakan gila atau tukang sihir.
“Demikianlah tidak seorang Rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: "Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila."” (QS. Adz Dzariyat: 52)
Namun, dengan adanya penentang kebenaran ini, maka akan semakin terlihat bagaimana sebenarnya yang benar dan bagaimana yang salah.
“Termasuk sunnatullah, apabila Dia ingin menampakkan agama-Nya, maka dia membangkitkan para penentang agama, sehingga Dia akan memenangkan kebenaran dan melenyapkan kebatilan, karena kebatilan itu pasti akan hancur binasa.” (Ibn Taimiyah, Majmu’ Fatawa 28/57)
Lihatlah bagaimana setiap Nabi dan Rasul memiliki musuh dakwah, tidak hanya dari kaumnya saja, tapi bahkan dari keluarganya sendiri. Lihatlah bagaimana Nuh harus melihat kaum dan anaknya sendiri tenggelam, lihat bagaimana Ibrahim harus merelakan Ayahnya terjebak dalam kesesatan bersana Raja Namrud. Atau mungkin lihatlah tuntunan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang betapa besar ujian dakwah beliau namun beliau masih tetap sabar dalam berdakwah.
Sabar Dalam Dakwah
Dakwah tanpa kesabaran maka pasti tidak akan terwujud tujuannya. Dakwah yang penuh rintangan butuh orang-orang yang kuat dan tangguh dalam menghadapi terjalnya perjalanan dakwah tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Karena itulah kita dapati bahwa Allah Ta’ala memerintahkan bersabar kepada para Rasul-Nya shalawaatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim- mereka adalah para pemimpin dalam amar ma’ruf nahi munkar-, bahkan Dia menyuruh bersabar kepada penutup Para Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di awal-awal surat yang dengannya beliau diangkat menjadi Rasul.
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah! dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.” (QS. Al Muddatstsir: 1-7)
Allah selalu mengawali ayat-ayat tentang diutusnya Rasul kepada makhluk dengan memberi peringatan, dan mengakhirinya dengan kesabaran. Peringatan itu sendiri hakikatnya ialah amar ma’ruf nahi munkar. Maka diketahui bahwa kesabaran itu wajib ada setelahnya (setelah amar ma’ruf nahi munkar)” (Ibn Taimiyah, Al Amr bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar hlm. 56)
Kesabaran dalam berdakwah sangatlah penting. Sabar itu sendiri bagi setiap individu saja sudah sangat penting, apalagi untuk berdakwah. Karena sesungguhnya dakwah adalah perbaikan dirinya dan perbaikan orang lain.
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)
Karena itu, jangan berdakwah jika kesabaran itu belum dimiliki. Betapa banyak yang mengaku berdakwah kepada Allah, mengajak manusia kepada Islam, namun kerjaannya hanyalah marah-marah, membuat onar, melaknat orang lain, berdemonstrasi, memblokir jalan, dan perbuatan merusak lainnya. Sungguh, jika da’i seperti itu maka bukannya ia menarik orang kepada Islam tapi justru melarikan orang dari Islam. Mereka berdakwah tapi sedikit ada batu mengganjal langsung panas hatinya, apakah ini dakwah yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Padahal yang diperintahkan oleh Allah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tetap bersabar.
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka...” (QS. Al Ahqaf: 35)
Dakwah bukan sembarang kata, tapi butuh pemahaman yang mendalam. Termasuk juga sabar dalam berdakwah. Namun sabar di sini bukanlah membiarkan kemaksiatan terjadi sedangkan kita diam, tapi sabar di sini adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim,
“Hakikat sabar ialah salah satu akhlak jiwa yang mulia; dengannya perbuatan yang tidak baik dapat dicegah. Sabar merupakan salah satu kekuatan jiwa yang dengannya urusan perkara jiwa menjadi baik” (Ibnul Qayyim Al Jauziyah, ‘Idatush Shabirin wa Dzakhiratus Syakirin hlm. 36)
Jadi sabar adalah menahan jiwa agar perbuatan yang tidak baik dapat dicegah dan mengarahkan kita agar menjadi lebih baik. Dan sungguh akibat dari sabar ini sangatlah menguntungkan. Karena dengan sabar, maka dakwah akan terus berjalan dan akan menuai hasil di kemudian harinya. Sebagaimana para sahabat Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam dan siapa saja yang meniti di atas jalan mereka. Mereka telah menjadi para imam yang memberi petunjuk dan du’at (penyeru) kepada kebenaran serta para figur pemimpin yang diteladani. Disebabkan oleh kesabaran dan keimanan itulah mereka dapat meraih kepemimpinan di dalam agama. Para sahabat Rasul Shallallahu ’alaihi wa Salam dan para pengikutnya yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari ini, mereka adalah para imam, para pemberi petunjuk dan mereka adalah teladan di dalam jalan kebenaran.
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” (QS. As Sajdah: 24)
Wallahu a’lam
Sumber Penulisan:
Al Qur’anul Karim
Amar Ma’ruf Nahi Munkar Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Zad Ad Da’iyah Ilallaah (Ebook), Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Manhajul Anbiyaa’ fid Da’wah Ilallaah, fihil Hikmah wal ‘Aql, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali. Edisi Indonesia: Fiqih Dakwah Para Nabi. Penerbit: Media Tarbiyah.
Ad Da’wah Ilallah wa Akhlaq Ad Du’at (Ebook), Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
Untukmu yang Terasingkan, Artikel oleh Jundullah Abdurrahman Askarillah. Dipublikasikan dalam Cafe Sejenak
Bogor, 8 Januari 2012.
Artikel Cafe Sejenak
0 komentar:
Posting Komentar