Di Indonesia,
ketika seseorang meninggal maka ada satu gelar yang ia raih, yaitu sebutan
almarhum. Sebutan yang sangat familiar di telinga kita untuk orang yang telah
mendahului kita. Tanpa sadar kita terus menggunakan kata sebutan itu. Namun,
kita masih belu mengetahui dari mana asal sebutan itu, dan bagaimana sebutan
itu dalam timbangan Islam.
Sebutan Almarhum yang merupakan sebutan
bagi yang sudah meninggal, diartikan sebagai “fulan yang dirahmati”. Sebagian ulama
melarang sebutan ini secara mutlak. Seperti yang ditetapkan oleh Komite Tetap
untuk Riset Ilmiah dan Fatwa (Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyyah wal Ifta’)
di Kerajaan Saudi Arabia lewat fatwanya.
Al
Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyyah Wal Ifta’ ditanya :
Saya
mendengar sebagian kalimat yang sering diucapkan oleh sebagian orang. Saya
ingin mengetahui pandangan Islam terhadap kalimat ini? Misalnya, jika ada
seseorang tertentu meninggal dunia, sebagian orang mengatakan “almarhum si
fulan”. Jika orang yang meninggal itu memiliki kedudukan, mereka mengatakan “al
maghfur lahu fulan”.
Al
Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta’ menjawab:
Kepastian
ampunan atau rahmat Allah kepada seseorang setelah orang itu meninggal dunia
merupakan perkara ghaib; hanya diketahui oleh Allah, kemudian maklhluk yang
diberitahu oleh Allah ‘Azza wa jalla , seperti para malaikatNya dan para
nabiNya.
Jadi pemberitaan orang lain,
selain para malaikat atau para nabi tentang mayit bahwa ia sudah mendapatkan
rahmat atau maghfirah, merupakan sesuatu yang tidak boleh.
Kecuali (tentang) orang yang sudah dijelaskan nash dari nabi Shalallahu ‘alihi
wa salam. (kalau berani berbicara) tanpa nash, berarti telah berlaku lancang
atas sesuatu yang ghaib, padahal Allah ‘Azza wa jalla berfirman :
Katakanlah :”Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”(QS. An Naml :65)
(Dia adalah Rabb) Yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu kecuali kepada Rasul yang diridhaiNya.(QS. Jin :26-27)
Namun
(memang-pent) seorang muslim diharapkan mendapatkan maghfirah (ampunan), rahmat
dan masuk syurga, sebagai karunia dan kasih sayang dari Allah. Dan dia
dido’akan agar mendapatkan ampunan, sebagai ganti dari pemberitaan bahwa ia
telah mendapatkan mpunan dan rahmat. Allah berfirman :
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya.(QS An Nisa’ : 48)
Diriwayatkan
dalam Shahih Bukhari:
Dari
Kharijah bin Zaid bin Tsabit bahwa Ummul Ala’ -seorang wanita yang pernah
membaiat Nabi Shalallahu ‘alihi wa salam- memberitahuku, bahwa kaum muhajirin
diundi (untuk menentukan siapa di kalangan Muhajirin yang ditempatkan di rumah
siapa dari kalangan Anshar). Maka Utsman bin Madz’un terpilih buat kami, lalu
kami ditempatkan di rumah kami. Lalu dia sakit yang menyebabkan meninggalkan.
Ketika sudah meninggal, dimandikan, dan telah dikafani dengan kain-kainnya,
Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa salam masuk. Lalu aku mengatakan, “Rahmat Allah
atasmu, wahai Abu Sa’ib (maksudnya Utsman bin Madz’un)Aku bersaksi bahwa Allah
sungguh telah memuliakanmu.” Mendengar ucapanku ini Rasulullah Shalallahu
‘alihi wa salam bersabda , “Apa yang telah membuat Engkau mengetahui bahwa
Allah telah memuliakannya?” Aku mengatakan, “Demi bapakmu(ini bukan untuk
bersumpah, pent), lalu siapa yang dimuliakan Allah? Rasulullah Shalallahu
‘alihi wa salam menjawab, “Karena dia telah meninggal dunia, maka demi Allah,
saya sungguh mengharapkan kebaikan baginya. Dan demi Allah, saya tidak tahu
padahal saya adalah Rasulullah apa yang akan Allah lakukan pada diri saya!
“Kemudian ummul ‘Ala mengatakan :”Demi Allah, setelah itu seterusnya (kepada
seorang pun) saya tidak (lagi) memberi
persaksian bahwa si fulan mendapatkan kebaikan setelah meninggalnya”. (HR. Bukhari)
Dan
mengenai ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa salam ,
Dan
demi Allah. Saya tidak tahu-padahal saya adalah Rasulullah- apa yang akan Allah
lakukan pada diri saya.
Ucapan
ini beliau katakan sebelum Allah menurunkan firmannya :
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepada kamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberikan ampunan kepadamu terhadap dosa yang telah lalu dan akan datang.(QS Al Fath :1-2)
Juga
sebelum Allah memberitahukan beliau Shalallahu ‘alihi wa salam termasuk sebagai
penghuni syurga. (Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal ifta’, 2/159-160)
Pendapat ini juga dikuatkan oleh
pernyataan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz, “Dalam masalah ini
kata-kata yang dibenarkan adalah
ghafarallahu lahu (semoga Allah mengampuninya) atau rahimahullah (semoga
Allah merahmatinya)' dan ucapan semisal itu bila dia (orang yang meninggal
dunia tersebut) seorang Muslim. Kata al-maghfur lahu atau almarhum tidak boleh digunakan karena mengandung
makna bersaksi terhadap orang tertentu
bahwa dia ahli surga, ahli neraka atau lainnya, kecuali orang yang memang
sudah dipersaksikan oleh Allah dengan hal itu dalam Kitab-Nya yang mulia atau
orang yang telah dipersaksikan oleh RasulNya shallallahu 'alaihi wasallam. (Majmu
Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, Juz V, hal. 365-366)
Pendapat yang membolehkan gelar atau
sebutan almarhum jika yang dimaksud sebagai ungkapan ‘almarhum’ adalah suatu
bentuk harapan dan doa adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin
Shalih Al Utsaimin.
Syaikh
Ibnu Utsaimin pernah ditanya: Apa hukum ungkapan “Si fulan yang diampuni
(al-maghfur lahu) atau “Si fulan yang dirahmati (almarhum)”?
Jawaban
Syaikh Ibnu Utsaimin:
Sebagian
orang mengingkari ungkapan-ungkapan ini dengan mengatakan bahwa kita tidak
mengetahui apakah si mayit termasuk orang yang dirahmati dan diampuni atau
bukan? Pengingkaran ini bisa benar jika orang yang berkata dengan ungkapan ini
berkata dengan maksud mengabarkan bahwa si mayit telah dirahmati dan diampuni;
karena kita tidak boleh mengabarkan bahwa si mayit telah dirahmati atau
diampuni tanpa ilmu. Allah Ta’ala berfirman:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.(QS. Al Israa’: 36)
Orang-orang
yang berkata dengan ungkapan ini tidak bermaksud demikian. Orang-orang yang
mengatakan almarhum atau almarhumah bermaksud berdoa kepada Allah agar Allah
memberi rahmat. Karena itu kita berkata, “fulan rahimahullah“, “fulan
ghafarallahu lahu“. Ungkapan ini tidak ada perbedaan dengan “fulan almarhum”
karena kalimat “fulan almarhum” dan “fulan rahimahullah” keduanya kalimat
khabariyah (pengkabaran). Berarti orang yang melarang penggunaan “almarhum”
harus juga melarang “fulan rahimahullah“.
‘Ala
kulli hal, kami katakan tidak ada
pengingkaran dalam ungkapan ini, karena kita bukan bermaksud memberi kabar
melainkan meminta dan berharap kepada Allah. (Al-Manaahil Lafzhiyah,
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin)
“Bila gelar atau sebutan almarhum itu
bukan sebagai jaminan atau pernyataan tapi menjadi suatu harapan dan doa agar
mayit dirahmati Allah, maka tidak ada perbedaan dari segi bahasa antara ‘rahimahullah’
dengan ‘almarhum’ (kedua-duanya bisa bermakna doa), maka tidak boleh ada pengingkaran dalam kalimat semacam ini”
(Diringkas dari Kutub wa Rasail Syaikh Ibnu Utsaimin 82/15-16, Liqa’ Al Bab Al
Maftuh 11/28, Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 3/85)
Kesimpulannya,
gelar atau sebutan ‘almarhum’ bila digunakan sebagai pemberitaan atau
pernyataan maka hal ini dilarang karena rahmat dan ampunan Allah merupakan hal
ghaib, tidak ada yang mengetahui kecuali Allah, kecuali orang-orang yang telah
dijelaskan dalam Al Qur’an atau hadits-hadits shahih bahwa mereka mendapat
rahmat dan ampunanNya (seperti para Nabi dan shahabat-shahabatnya seperti Abu
Bakar, Umar, dan sepuluh orang lain yang dijamin masuk surga serta banyak
shahabat lainnya).
(Dia adalah Rabb) Yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu kecuali kepada Rasul yang diridhaiNya.(QS. Jin :26-27)
Namun
yang lebih baik agar menghindari kesalahan dalam memahami, akan lebih baik jika
kalimat almarhum diganti dengan rahimahullah atau ghafarallahu lahu, atau
Allahu yarhamuhu atau sejenisnya yang merupakan doa.
Wallahu
a’lam.
Bogor,
16 Oktober 2011
Artikel
Cafe Sejenak.
0 komentar:
Posting Komentar