"Waktu akan semakin berharga bila dijalankan dengan baik, dan aku melihat waktu itu sesuatu yang paling mudah untuk kita lalaikan"-Yahya bin Muhammad bin Hubairah, dicantumkan dalam Dzail Thabaqatil Hanabilah I/281-
Ibnul Jauzi rahimahullah,
salah satu ulama kaum muslimin mengisahkan,
“Saya telah melihat banyak
orang yang berjalan-jalan bersama saya melakukan kunjungan sebagaimana yang
telah menjadi kebiasaan masyarakat. Mereka menyebut itu sebagai bentuk
‘pelayanan’. Mereka biasanya mencari tempat duduk (di kediaman seseorang) dan
memperbincangkan omongan yang tidak berguna. Kadang diselingi dengan
menggunjing orang lain.
Kebiasaan semacam itu
banyak dilakukan di masyarakat kita sekarang. Terkadang acara itu menjadi tuntutan
yang digandrungi, seorang diri pun pergi dipaksa-paksakan; khususnya pada hari
raya ‘Id. Kita bisa melihat orang-orang saling mengunjungi ke rumah teman atau
kerabatnya. Tidak cukup hanya dengan ucapan selamat dan sejenisnya, tapi mereka
menyelinginya dengan membuang-buang waktu seperti yang saya paparkan.
Ketika kulihat bahwa waktu
itu adalah sesuatu yang paling berharga, sementara kewajiban kita adalah
melakukan kebaikan, aku pun tidak menyukai kebiasaan itu. Sikapku terhadap
mereka antara dua hal: Kalau aku menolak mereka, akan terjadi perselisihan yang
mampu memecah persaudaraan. Tapi kalau aku menerima ajakan mereka, aku akan
membuang-buang waktuku. Akhirnya aku memilih untuk menolak secara halus. Kalau
gagal, aku ikuti mereka, namun aku tidak mau ngobrol panjang agar makin cepat
selesai pertemuannya.
Kemudian aku menyiapkan
berbagai aktivitas yang tidak menghalangi aku untuk berbincang-bincang dengan
mereka ketika sedang bertemu, artinya agar waktuku tidak terbuang sia-sia.
Sehingga yang aku persiapkan sebelum bertemu mereka adalah memotong ka’ghid
(kertas yang disiapkan untuk menulis), meruncingkan pena, dan menyiapkan
buku-buku tulis. Semuanya itu perangkat yang tidak boleh tertinggal. Dan
kelebihannya tidak terlalu membutuhkan pikiran dan konsentrasi. Aku pun
menggunakannya pada saat-saat terjadi pertemuan dengan mereka agar waktuku tak
terbuang sia-sia” (Dinukil dari Shaidul
Khathir hlm. 184-185)
Waktu adalah hal yang
sangat berharga. Ketika ia pergi maka tak bisa kembali. Jika kita melewati waktu
dengan sia-sia, maka hanya penyesalan yang ada. Waktu merupakan salah satu
masalah terpenting, sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya ke mana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya(HR Tirmidzi (2417), ad-Daarimi (537), dan Abu Ya’la (7434), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani dalam as-Shahiihah no. 946)
Tentang apa yang kita
lakukan dalam menghabiskan umur kita. bermanfaatkah? Apa ada keuntungannya? Apa
jangan-jangan kita hanya menghabiskan waktu dengan senda gurau semata?
Sebagai seorang muslim,
maka sudah seharusnya kita menggunakan waktu kita ini dengan sebaik-baiknya. Sudah
sewajarnya kita menjadi pribadi yang produktif menghasilkan kebaikan.
...Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan...(QS. Al Maidah: 48)
Tetapi bila waktu yang
merupakan karunia Allah itu kita sia-siakan, maka apa yang bisa kita berikan? Apa
yang telah kita lakukan? Kita adalah kaum muslimin, kaum yang seharusnya
memiliki semangat dalam menghargai waktu. Sungguh, merugilah orang yang tidak
mampu memanfaatkan waktu dengan baik.
“Aku tidak senang melihat
seseorang yang menganggur, tidak mengurus urusan dunia maupun akhirat” (Abdullah
bin Mas’ud, dinukil dalam Siyar A’lam
An Nubala I/496)
Kenalkah kita dengan Ibnu
Nafis (1210-1288), guru besar kedokteran di zamannya yang telah menjadi pelopor
dalam penemuan peredaran darah. Apabila beliau –rahimahullah- hendak menyusun
buku, beliau siapkan terlebih dahulu pena-pena yang telah diruncingkan lalu
beliau menghadap dinding. Setelah itu beliau menulis ibarat air mengalir,
beliau menulis secara spontan dari hapalannya. Apabila penanya telah tumpul dan
tidak bisa lagi dipakai menulis, beliau langsung mencampakkannya untuk diganti
dengan pena runcing lain yang telah disiapkan. Hal ini agar waktu beliau tak
terbuang untuk meruncingkan penanya kembali. (Raudhatul Jannat, Al Khawansari)
Memanfaatkan waktu bagi
seorang muslim bisa juga mengerjakan kebajikan sesegera mungkin. Dan tidak
menunda-nunda kebaikan itu. Sebagaimana nasihat Hasan Al Bashri, “Jangan lagi
katakan ‘Besok, besok’ karena kamu tidak pernah tahu, kapan kamu akan kembali
menemui Rabbmu” (Hilyatul Auliya’
2/140)
Jangan biarkan umur kita
pergi sementara kita belum melakukan apa-apa.
“Wahai anak Adam,
sesungguhnya kamu ini tidak lain hanyalah perjalanan waktu; setiap kali waktu
berlalu, berarti hilanglah sebagian dirimu” (Hasan Al Bashri, sebagaimana
dinukil dalam Siyar A’lam An Nubala
1/496)
Ada satu kisah unik lain
dari Ibnu Nafis mengenai bagaimana ia benar-benar memanfaatkan waktunya dan
bersegera dalam memanfaatkan waktu. Suatu hari beliau masuk ke dalam pemandian.
Ketika di pertengahan mandi, beliau beranjak ke ujung kamar mandi tempat
meletakkan pakaian. Beliau meminta pena dan kertas dan sejurus kemudian beliau
langsung menulis makalah mengenai denyut nadi hingga selesai. Setelah itu
beliau kembali ke kamar mandi dan melanjutkan mandinya (Sawanih wa Ta’wilat fi Qimatiz Zaman hlm. 37)
Berbagai uraian di atas
seharusnya membuat gambaran bagi kita, bahwa memanfaatkan waktu tidak hanya
masalah untung rugi di dunia atau pun akhirat. Tetapi juga bagaimana dengan
memanfaatkan waktu kita bisa bermanfaat bagi orang lain.
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberikan manfaat bagi orang lain.”(Al Jaami’ Ash Shagir no. 11608)
Wallahu a’lam.
Sumber Penulisan:
Aina Nahnu min Akhlaq As Salaf, ‘Abdul ‘Aziz bin Nashir Al
Jalil dan Bahauddin bin Fatih Uqail. Edisi Indonesia: Belajar Etika Dari Generasi Salaf. Penerbit Darul Haq. Jakarta.
50 Ilmuwan Muslim Populer, Muhammad Razi. Penerbit: Qultum
Media. Depok.
Bogor, 9 Oktober 2011
Selepas shalat Zhuhur
Artikel Cafe Sejenak.
0 komentar:
Posting Komentar