Semenjak kecil, kita sudah tahu bahwa shalat berjama’ah di masjid adalah salah satu bentuk ibadah yang sangat ditekankan oleh Islam melalui dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Banyak ummat Islam yang mengerjakan shalat berjama’ah karena ingin mendapatkan pahala dan semangat besar untuk beramal shalih. Memburu pahala dan menginginkan ridhaNya sekaligus mempererat tali ukhuwah Islamiya menjadi salah satu faktor terbesar untuk shalat berjama’ah di masjid
Tetapi ternyata banyak yang masih belum tau bagaimana sebenarnya hukum dari shalat berjama’ah itu sendiri. Bagaimana sebenarnya para ulama menjelaskan mengenai hukum shalat berjama’ah di masjid, baik laki-laki maupun perempuan. Ustad A bilang itu wajib, kalau gak jama’ah di masjid gak sah shalatnya, Kiai B bilang itu sunnah saja. Jadi, mana yang benar?
Khilaf di Antara Para Ulama
Sebagian ulama rupanya berselisih pendapat mengenai hukum shalat berjama’ah di masjid (bagi laki-laki). Karena hukum shalat di masjid bagi wanita adalah boleh (bukan disunnahkan), karena wanita sunnahnya shalat di rumah. Hal ini sebagaimana dalam hadits,
Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk ke masjid, namun shalat di rumah mereka (bagi para wanita) tentu lebih baik(HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Al-Albani)
Berkata pula Ibnu Hajar menjelaskan tentang hal ini,
Shalatnya wanita di rumahnya lebih utama baginya karena terjamin aman dari fitnah.(Fathul Bari 2/350)
Berkata Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits “Janganlah kalian melarang hamba hamba perempuan Allah dari masjid masjid Allah",
Dan yang hadits-hadits semisalnya dalam bab ini, menunjukkan bahwa wanita tidak dilarang mendatangi masjid akan tetapi harus memenuhi syarat syarat yang telah disebutkan oleh ulama yang diambil dari hadits hadits yang ada. Seperti wanita itu tidak memakai wangi wangian, tidak berhias, tidak mengenakan gelang kaki yang bisa terdengar suaranya, tidak mengenakan pakaian mewah, tidak bercampur-baur dengan laki laki, dan wanita itu bukan remaja putri (pemudi) yang dengannya dapat menimbulkan fitnah serta tidak ada perkara yang dikhawatirkan kerusakannya di jalan yang akan dilewati dan semisalnya(Syarh Muslim 2/83)
Sementara itu, hukum shalat berjama’ah di masjid bagi laki-laki maka para ulama terjadi perselisihan pendapat yang terbagi menjadi empat. Yaitu fardhu kifayah, sunnah muakkad, hukumnya menjadi syarat sah shalat (kecuali ada udzur), dan yang terakhir adalah fardhu ain tanpa menjadi syarat sah shalat.
1. Fardhu Kifayah
Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, jumhur ulama mutaqaddim dan banyak ulama Hanafiyah serta Malikiyah.
Zhahirnya nash (perkataan) Syafi’I, shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah. Inilah pendapat jumhur mutaqaddim (terdahulu) dari ulama Syafi’iyah dan banyak ulama Hanafiyah serta Malikiyah (Ibnu Hajar, Fathul Baari 2/26).
Dalil mereka adalah,
“Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada mereka shalat kecuali Syeithon akan menguasainya. Berjamaahlah kalian, karena serigala hanya memangsa kambing yang sendirian” (HR. Abu Daud 460, An-Nasa’i 738, dan Ahmad dalam musnadnya no. 26242)
“Kembalilah kepada ahli kalian, lalu tegakkanlah shalat pada mereka serta ajari dan perintahkan mereka (untuk shalat). Shalatlah kalian sebagaiamana kalian melihat aku shalat. Jika telah datang waktu shalat hendaklah salah seorang kalian beradzan dan yang paling tua menjadi imam” (HR. Bukhari dalam Al Adzaan, no. 595 dan Muslim dalam Shahih-nya kitab Al Masaajid Wa Mawaadhi’ Ash Shalat, bab Man Ahaqu Bil Imamah no. 1080)
“Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dua puluh tujuh derajat” (HR. Bukhari, Kitab Al-Adzan no. 609)
2. Sunnah Muakkad
Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah dan Malikiyah. Ibnu Abdil Barr menisbatkannya kepada kebanyakan ahli fiqih Iraq, Syam dan Hijaz. Dalil mereka adalah,
“Shalat berjamaah mengungguli shalat sendirian dua puluh tujuh derajat” (HR. Bukhari, Kitab Al-Adzan no. 609)
“Sesungguhnya orang yang mendapat pahal paling besar dalam shalat adalah yang paling jauh jalannya kemudian yang lebih jauh. Orang yang menunggu shalat sampai shalat bersama imam lebih besar pahalanya dari orang yang shalat kemudian tidur. Dalam riwayat Abu Kuraib: sampai shalat bersama imam dalam jama’ah” (Shahih Muslim no. 1064)
Dan Imam Asy-Syaukani memperkuat pendapat ini dengan mengatakan bahwa pendapat yang pas dan mendekati kebenaran, shalat jamaah termasuk sunah-sunah yang muakkad. Adapun hukum shalat jama’ah adalah fardhu ‘ain atau kifayah atau syarat sah shalat maka tidak.
Pendapat ini pun didukung oleh Asy-Syaukani, Shiddiq Hasan Khan, serta Sayyid Sabiq karena yang ada pada hadits-hadits yang menunjukan kewajiban berjam’ah kepada peniadaan kesempurnaan dan bukan keabsahannya (Raudhatun Nadiyah Syarah Durarul Bahiyah 1/306 dan Fiqhus Sunnah 1/248)
3. Sebagai Syarat Sah Shalat
Ini adalah pendapat zhahiriah dan sebagian ahli hadits. Pendapat ini didukung pula oleh sejumlah ulama diantaranya Ibnu Taimiyah, Ibnu Aqiil dan Ibnu Abi Musa, dll. Dalil mereka antar lain,
“Barang siapa yang mendengar adzan lalu tidak datang maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Maajah no. 631)
“Demi dzat yang jiwaku ada ditanganNya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat dan aku tidak berjamaah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah) lalu aku bakar rumah-rumah mereka” (HR. Bukhari no. 608 dan Muslim no. 1041)
“Seorang buta mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “wahai Rasulullah aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke masjid”. Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga boleh shalat dirumah. Lalu beliau memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia meninggalkan nabi, langsung Rasulullah memanggilnya dan bertyanya: “apakah anda mendengar panggilan adzan shalat? Dia menjawab: “ya”. Lalu beliau berkata: “penuhilah!” (HR. Muslim no. 1044)
4. Fardhu ‘Ain dan bukan Syarat Sah
Inilah pendapatnya Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Atha’ bin Abi Rabbaah, Al-Auzaa’i, Ibnu Qudamah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hiban, Ibnu Daqiqil ‘Ied, kebanyakan ulama Hanafiyah dan madzhab Hanabilah. Dalil mereka adalah,
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka’at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bershalat,lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu” (QS. An-Nisa: 102)
Ayat ini telah menggambarkan kewajiban shalat berjama’ah yang tidak memiliki udzur seperti sakit atau hujan, dll.
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’” (QS. Al-Baqarah: 43)
Allah memerintahkan ruku’ bersama-sama orang-orang yang ruku’, dan yang demikian itu dengan cara bergabung dalam ruku’. Maka ini merupakan perintah menegakkan shalat berjama’ah. (Imam Al-Kasani, Al-Badai’ Ash-Shana’i 1/155)
“Seorang buta mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “wahai Rasulullah aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke masjid”. Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga boleh shalat dirumah. Lalu beliau memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia meninggalkan nabi, langsung Rasulullah memanggilnya dan bertyanya: “apakah anda mendengar panggilan adzan shalat? Dia menjawab: “ya”. Lalu beliau berkata: “penuhilah!” (HR. Muslim no. 1044)
“Jika orang buta yang tidak memiliki orang yang mengantarnya tidak diberi keringanan, maka selainnya lebih lagi” (Ibnu Qudamah, Al Mughni 3/6)
“Demi dzat yang jiwaku ada ditanganNya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat dan aku tidak berjamaah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah) lalu aku bakar rumah-rumah mereka” (HR. Bukhari no. 608 dan Muslim no. 1041)
Dalam menjelaskan hadits di atas, Ibnu Hajar berkata,
“Adapun hadits bab (hadits diatas) maka zhahirnya menunjukkan shalat jamaah fardhu ‘ain, karena seandainya hanya sunnah tentu tidak mengancam peninggalnya dengan pembakaran tersebut. Juga tidak mungkin terjadi pada peninggal fardhu kifayah seperti pensyariatan memerangi orang-orang yang meninggalkan fardhu kifayah” (Fathul Baari 2/125)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada mereka shalat kecuali setan akan menguasainya. Berjama’ahlah kalian, karena serigala hanya memangsa kambing yang sendirian” (HR. Abu Daud 460, An-Nasa’i 738, dan Ahmad dalam musnadnya no. 26242)
Kesimpulan
Dan akhirnya, setelah menyimak uraian tadi, yang bisa kami simpulkan adalah bahwa dari keempat pendapat tadi yang paling rajih (kuat) adalah pendapat terakhir, yakni pendapat yang mengatakan bahwa shalat berjama’ah di masjid bagi laki-laki adalah wajib atau fardhu ‘ain, dan bukan sebagai syarat sah. Jadi ketika seorang muslim tidak shalat di masjid melainkan di rumah tapi tanpa udzur, maka meski ia melakukan kesalahan tetapi amalan shalatnya tetap dihitung. Berdasarkan hadits nabi,
“Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dua puluh tujuh derajat” (HR. Bukhari, Kitab Al-Adzan no. 609)
Di sini Nabi menyatakan bahwa shalat sendirian tetap dihitung, meski dua puluh tujuh derajat di bawah shalat berjama’ah di masjid.
Sementara itu, alasan yang mendukung bahwa pendapat terakhirlah yang lebih kuat adalah:
Yang pertama, bahwa kebanyakan ulama salaf mendukung pendapat itu
Yang kedua, berdasarkan fatwa Lajnah Daimah, bahwa pendapat keempatlah yang paling kuat (Fatawa Lajnah Daimah 7/283)
Yang ketiga, kebanyakan ulama khalaf atau baru yang ada di zaman ini menguatkan atau mendukung pendapat yang mengatakan shalat berjama’ah di masjid bagi laki-laki adalah fardhu ‘ain dan bukan syarat sah shalat. Misalnya Syaikh Prof. DR. Shalih bin Ghanim As Sadlaan dalam kitabnya, Shalatul Jama’ah.
Yang keempat, bila dilihat dalil secara keseluruhan, maka pendapat terakhir yang sangat mendekati keseluruhan dalil tersebut.
Wallahu a’lam.
Sumber Penulisan: ustadzkholid.com | Kajian Ustadz Syariful Mahya Lubis hafizhahullah | Kitab Al-Minzhar fi Katsir min al-Akhta’ asy-Sya’i’ah, Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu Syaikh
Wallahu a’lam.
Sumber Penulisan: ustadzkholid.com | Kajian Ustadz Syariful Mahya Lubis hafizhahullah | Kitab Al-Minzhar fi Katsir min al-Akhta’ asy-Sya’i’ah, Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu Syaikh
Jundullah AbdurrahmanAskarillah. Bogor, 26 Juni 2011.
1 komentar:
Setuju banget... Laki2 ya sholat dimasjid apalagi sholat subuh itu sbg tolok ukur kita Mu`min atau Munafiq...
Posting Komentar