Apa Maksud dari Sikap Pertengahan Seorang Muslim?

16 Juni 2011

Pertanyaan:
Apakah yang dimaksud dengan al-Wasath (sikap pertengahan) di dalam agama? Mohon penjelasan yang rinci dan memuaskan dari yang mulia, semoga Allah membalas jasa anda terhadap Islam dan kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan.
Jawaban:
Pengertian al-wasath dalam agama adalah seseorang tidak boleh berlaku ghuluw (berlebih-lebihan) di dalamnya sehingga melampaui batasan yang telah ditentukan oleh Allah dan tidak pula taqshir, teledor di dalamnya sehingga mengurangi batasan yang telah ditentukan Allah.

Al-wasath di dalam agama artinya berpegang teguh dengan sirah (perjalanan hidup) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ghuluw artinya melampaui batasnya sedangkan taqshir artinya tidak mencapainya (teledor).
Sebagai contoh untuk hal tersebut, ada seorang laki-laki yang berkata, "Aku ingin melakukan shalat malam dan tidak akan tidur sepanjang tahun karena shalat merupakan ibadah yang paling utama dan aku ingin menghidupkan seluruh malam dengan shalat. Maka kita katakan, bahwa ini adalah sikap seorang yang berbuat ghuluw di dalam agama dan ini tidak benar. Dan, hal semacam ini pernah terjadi pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti suatu ketika berkumpullah beberapa orang, lalu salah seorang di antara mereka berkata, "Aku akan shalat malam terus dan tidak akan tidur." Yang satu lagi berkata, "Aku akan berpuasa terus dan tidak akan berbuka." Sedangkan orang ketiganya berkata, "Aku tidak akan menikahi wanita manapun." Lantas hal itu sampai ke telinga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka bersabdalah beliau,
Ada apakah gerangan suatu kaum yang mengatakan begini dan begitu padahal aku ini juga melakukan shalat, tidur, berpuasa, berbuka dan menikahi wanita; barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka dia tidak termasuk ke dalam golonganku.
(HR. Al-Bukhari 5063 dan Muslim 1401)
Mereka itu telah bertindak ghuluw di dalam agama dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah berlepas diri dari (tindakan) mereka tersebut karena mereka telah membenci (tidak suka) terhadap sunnah beliau, yakni berpuasa, berbuka, melakukan shalat malam, tidur dan menikahi wanita.
Sedangkan orang yang bertindak taqshir (teledor), adalah orang yang mengatakan, "Aku tidak butuh dengan amalan sunnah. Karena aku tidak akan melakukan hal-hal yang sunnah, dan aku hanya melakukan yang wajib-wajib saja." Padahal orang semacam ini, bisa jadi juga teledor di dalam melakukan hal-hal yang wajib tersebut. Inilah orang yang teledor itu, sementara orang yang bersikap pertengahan adalah orang yang berjalan sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Khulafa'ur Rasyidin setelah beliau.
Contoh lainnya, ada tiga orang yang di depan mata mereka berdiri seorang yang fasiq, lalu berkatalah salah seorang di antara mereka, "Aku tidak akan mengucapkan salam kepada si fasiq ini, tidak akan menegur, akan menjauh darinya dan tidak akan berbicara dengannya."
Orang kedua berkata, "Aku tetap mau berjalan dengan si fasiq ini, mengucapkan salam, melempar senyum, mengundangnya dan memenuhi undangannya. Pokoknya, bagiku dia sama seperti orang yang shalih lainnya."
Sedangkan orang ketiga berkata, "Aku tidak suka terhadap si fasik ini karena kefasikannya tersebut dan aku menyukainya karena keimanannya. Aku tidak akan melakukan hajr (isolir/tidak menegur) terhadapnya kecuali bila hal itu menjadi sebab dia berubah. Jika hajr tersebut tidak dapat menjadi sebab dia berubah bahkan semakin menambah kefasikannya, maka aku tidak akan melakukan hajr terhadapnya.
Maka, kita katakan: orang pertama tersebut sudah bertindak melampaui batas lagi ghuluw, orang kedua juga bertindak melampaui batas lagi teledor sedangkan orang ketigalah yang bertindak pertengahan (wasath) tersebut.
Demikian pulalah kita katakan pada seluruh ibadah dan mu'amalat. Di dalam hal tersebut manusia terbagi kepada kelompok yang teledor, bertindak ghuluw dan pertengahan.
Contoh kasus lainnya, ada seorang suami yang menjadi "tawanan' isterinya; mau diperintah olehnya kemana yang dia mau, tidak mencegahnya berbuat dosa dan tidak pula menganjurkannya agar berperilaku mulia. Pokoknya, isterinya telah menguasai pikirannya sehingga isterinya tersebutlah yang menjadi pemimpin rumah tangga.
Ada lagi seorang suami yang sangat kasar dan sombong dan tidak ambil pusing terhadap isterinya, tidak mempedulikanya seakan dia tidak lebih sebagai pembantu. Lalu ada lagi seorang suami yang memperlakukan isterinya dengan cara yang adil sebagaimana perintah Allah dan RasulNya. Allah berfirman,
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.
(QS. Al-Baqarah: 228)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, (sebab) jika dia membenci satu akhlak darinya, dia pasti rela dengan akh-laqnya yang lain.
(HR. Muslim 1469)
Orang terakhir inilah yang bertindak pertengahan, sedangkan orang pertama sudah bertindak ghuluw di dalam memperlakukan isterinya sedangkan yang satu lagi sudah bertindak teledor. Jadi, perbandingkanlah terhadap amal-amal dan ibadah-ibadah yang lainnya.
Wallahu a’lam.
Rujukan:
Al-Majmu' Ats-Tsamin, Juz.I, hal.39 dari fatwa Syaikh Ibn Utsaimin.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2, penerbit Darul Haq.

Artikel Terkait



0 komentar:

Posting Komentar