...Maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadaNya dan mohonlah ampun kepadaNya...(QS. Fushshilat: 6)
Suatu hari, Yahya bin Yahya sedang duduk di majelis ilmu yang dipimpin oleh Imam Malik di Madinah. Yahya yang seorang pria asal Andalusia (Spanyol) rela melalui perjalanan yang jauh lintas benua demi menuntut ilmu kepada ulama yang tersohor itu. Tidak bisa terbayang bagaimana luar biasanya perjalanan dari Andalusia hingga ke Madinah.
Ketika ia dan para murid lainnya sedang duduk di majelis itu, tiba-tiba Madinah gempar. Rombongan gajah yang entah dari mana datangnya melewati Kota Madinah. Sontak, hampir seluruh penduduk Madinah berhamburan ingin menonton gajah tersebut. Maklum, tidak seperti kuda atau unta, di jazirah Arab gajah adalah makhluk spesial yang jarang terlihat. Kemunculannya adalah berita besar bagi seluruh warga.
Tidak terkecuali majelis Imam Malik, para murid yang awalnya menuntut ilmu kemudia turut dalam euforia menyambut rombongan gajah. Yang masih tetap berada di tempat itu hanya tinggal Yahya bin Yahya dan Imam Malik.
Lalu Imam Malik bertanya, “Mengapa engkau tidak keluar juga untuk melihat gajah?”
Aku jauh-jauh datang dari Andalusia untuk menuntut ilmu, bukan untuk melihat gajah
Ya, jawaban yang sangat mantap keluar dari lisan penuntut ilmu yang satu ini. Hingga akhirnya ia dijuluki Aqilu Andalus, Orang berakal dari Andalusia. (Biografi Yahya bin Yahya Al-Laitsi, lihat dalam Thuqul Hamaamah, Ibn Hazm; Al-Maghrib, Ibn Sa’id)
--------------00000000000000---------------
Yahya bin Yahya telah mengajarkan pada kita, bahwa orang yang berakal sudah seharusnya mengerti tujuan hidupnya.
Bukan saja masalah tujuan hidup, jauh lebih daripada itu. Tentang bagaimana seorang muslim seharusnya mengerti apa yang seharusnya ia lakukan, apa yang ia impikan, tentang apa yang ia perjuangkan meski banyaknya godaan untuk berpaling dari tujuan kita tersebut.
Ketika kita melakukan seuatu demi tujuan tertentu, maka pasti akan ada hal lain yang mampu merubah langkah kita, yang mampu mengubah tujuan kita. Hal-hal yang terkadang menjadi batu sandungan bagi orang yang mengejar mimpinya. Ia jatuh karena hal kecil di dalam dirinya yang ia tidak kelola dengan baik: Konsistensi.
Dan tidak sedikit pula halangan dalam mencapai tujuan mampu menjadi batu loncatan demi mewujudkan harapannya, karena ia memiliki hal kecil dalam dirinya: Konsistensi. Yang mampu membuat ia matang dalam menghadapi ujian, matang dalam kepribadian, matang dalam menghadapi perubahan.
Terlalu indah rasanya bila kita bayangkan bahwa hidup ini bagaikan jalan yang lurus dengan aspal terbagus. Yang tanpa halangan kita lalui tanpa ada yang mampu membelokkan diri kita. Sesungguhnya hal itu tidaklah benar! Hidup itu berkelok-kelok. Ketika kita berencana untuk mencapai satu hal, maka kita harus menjalaninya. Jalan yang berkelok-kelok, yang kita tidak tahu bagaimana dan apa yang di balik tikungan itu. Bila kita tidak memiliki satu niat yang kuat, bila kita tidak konsisten dengan apa yang kita kerjakan, maka bisa saja kita akan kehilangan kendali di tikungan tersebut. Bagaikan mobil yang sedang mendaki. Ketika supirnya tengok kanan kiri dan tidak melihat jalan yang dilaluinua, maka ia tidak sadar kalau ternyata ia sudah di dalam jurang.
Dalam menghadapi tikungan itu, kita butuh kematangan seperti yang telah diajarkan Yahya bin Yahya, bagaimana ia tetap tidak kehilangan kendali meski terdapat halangan dan batu gelinciran.
Konsisten Sepanjang Zaman
Hidup ini terkadang sangatlah berat karena tidak ada konsistensi. Padahal, bila kita terus konsisten di tujuan kita, maka insya Allah kita akan dapatkan apa yang kita harapkan.
Dan sekarang, dalam konteks seorang muslim. Bagaimana ia seharusnya konsisten sebagai seorang muslim, yang mengaku beriman kepada Allah dan menjadi pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Banyak kasus di zaman ini, yaitu ketika seorang muslim tidak lagi tegar di jalan keIslamannya. Yang dengan mudahnya terhempas angin peradaban Barat dan terbang ke mana saja arahnya tanpa tujuan. Apakah hal itu adalah hakikat seorang muslim? Ketika seseorang menanggalkan identitas keIslamannya demi meraih tujuan duniawinya, sementara itu ia lupa dengan tujuan penciptaannya.
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku(QS. Adz-Dzariyaat: 56)
Sebagian besar ummat Islam lupa akan tujuan hidupnya, sehingga mereka tidak lagi konsisten dengan keIslaman mereka. Tidak konsisten di sini tentu saja bukan berarti langsung murtad dari Islam, melainkan nama mereka Islam tapi kepribadian, tindakan, dan pemikiran mereka keluar dari jalur syariat yang telah ditetapkan.
Cobalah lihat, bagaimana kebanyakan orang sudah mengekor pada orang-orang kafir. Turut berhura-hura dalam pesta mereka. Turut bersuka cita dalam hari raya mereka. Turut serta dalam kebudayaan mereka. Padahal telah jelas hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,
Sungguh, kalian akan mengikuti sunnah (cara hidupnya) orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga seandainya mereka masuk ke dalam lubang dhabb (sejenis biawak), kalian pun akan memasukinya.” Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?(HR. Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669)
Maka sungguh, itukah kepribadian muslim yang memiliki konsistensi?
Baiklah, mari sekali lagi kita buka lembaran-lembaran sejarah kita. Yang telah dibubuhi tinta emas oleh pendahulu kita.
Ketika keluarga Yassir, Bilal, Khabbab bin Arats, Khubaib bin Adi, dan segenap sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mendapat ujian hingga bahkan meregang nyawa demi memegang kukuh keIslaman mereka, apakah mereka ikut dalam keinginan orang-orang kafir? Tidak.
Ketika Muawiyah bin Abi Sufyan mengangkat puteranya, Yazid, sebagai pengganti tahtanya apakah para sahabat terang-terangan memberontak? Tidak.
Ketika Imam Ahmad bin Hanbal harus mendekam dalam penjara demi membela Al-Qur’an bukanlah makhluk, meski ada beberapa keluarganya yang akhirnya melakukan taqiyah (pura-pura) untuk mengakui bahwa Qur’an adalah makhluk padahal tidak agar mereka selamat. Apakah Imam Ahmad berpindah keyakinannya? Tidak
Ketika Bangsa Tartar dan Mongol menginjak-injak kekhilafahan Islam, apakah ummat Islam menyerah begitu saja? Tidak.
Atau yang paling dekat dengan kita, ketika Hamka mengeluarkan fatwa pada 1981 bahwa haram hukumnya mengucapkan selamat natal. Beliau dikecam di masa Orde Baru. Dan akhirnya demi tetap mempertahankan pendapatnya, ia rela mengundurkan diri dari jabatan Ketua MUI pusat.
Mengapa mereka begitu kuat dalam menjalankan prinsip mereka? Karena mereka sadar akan makna kehidupan, yaitu beribadah kepada Allah yang mencakup dalam segala hal. Dan mereka juga memiliki satu keistiqamahan atau konsistensi yang mampu membuat mereka tetap berpijar meski sudah berbeda zaman.
Dan setelah menyaksikan peristiwa-peristiwa sejarah tadi, apakah kita hanya akan duduk diam berpangku tangan? Sudah seharusnya kita mengasah kembali kepribadian kita, agar kita menjadi generasi rabbani yang tidak pernah rugi
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.(QS. Al-Ahqaf: 13)
Wallahu a’lam.
Penulis: Jundullah Abdurrahman Askarillah, 30 Juni 2011
0 komentar:
Posting Komentar