Api Generasi Mulia Islam

21 Maret 2010
Sesungguhnya kita adalah saudara seiman, seagama, senasib dan seperjuangan. Agama yang kita anut ini adalah agama yang terus diperjuangkan dan dijunjung tinggi dengan darah, keringat, harta, dan air mata dari para pendahulu kita. Dan sekarang, urusan agama ini akhirnya berada di tangan kita, di tangan generasi penerus kaum muslimin. Api yang terus menyala selama berabad-abad lamanya sekarang tiba di tangan kita. Akankah kita menambah nyala apinya? Atau sebaliknya, apakah kita akan memadamkannya?



Urusan agama ini bukanlah urusan manusia, tetapi urusan ini adalah urusan seluruh manusia yang mengaku beriman kepada-Nya. Ya, laksana api, agama ini telah menerangi dunia ini dengan cahaya dan kehangatannya. Api ini terus bergulir dari generasi ke generasi. Api ini telah hinggap di tangan orang-orang biasa. Namun, ternyata setelah memegang kuat agama ini, orang-orang biasa tadi ternyata berubah menjadi manusia-manusia yang luar biasa. Dengan agama ini, manusia-manusia biasa bisa menjadi manusia-manusia mulia yang luar biasa.
            Siapa yang tak kenal Umar bin Khattab? Dia adalah pembela Islam yang pemberani. Beliau juga dikenal sebagai ahli hukum dan khalifah kaum muslimin sepeninggal Abu Bakar. Namun, tahukah kamu latar belakang Umar sebelum masuk Islam?
            Di zaman jahiliah, Umar adalah orang yang garang dan jago bergulat. Hampir setiap orang di zaman jahiliah mengenal dirinya sebagai pribadi jawara Quraisy sejati. Siapa yang dapat menaklukkan hati Umar yang sekeras batu tersebut? Ternyata, hanya Islam yang berhasil mengubah pribadi Umar menjadi pribadi seorang mulia lagi berwibawa. Sesudah memeluk Islam pun Umar masih tetap kuat. Bahkan, dengan Islam Umar menemukan kemuliaan yang tiada bandingannya.
            Agama ini, adalah agama mulia dan penuh dengan kemuliaan. Sepanjang sejarah hidup manusia, hanya Islamlah yang mampu mengangkat derajat dan kemuliaan manusia itu sendiri. Dan sekarang yang menjadi penasaran, mengapa banyak orang yang justru mencari kemuliaan selain Islam? Sadarkah anda, bahwa ternyata di dunia ini banyak orang yang ingin menggapai derajat kemuliaan dengan cara-cara yang tak mulia. Banyak orang yang justru ingin menggapai kemuliaan dengan cara yang bathil. Bahkan menghalalkan segala cara. Padahal, kemuliaan sejati adalah kemuliaan yang ada pada Islam. Jika kita mengaku sebagai muslim sejati, maka sudah seharusnya pula kita menjadi pribadi yang mulia. Bagaimana caranya?
            “Maka orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia,” (Q.S. al-Hajj: 50)
            “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.” (Q.S. al-Anfaal: 2-4)
Ya, rizki yang mulia adalah rizki yang didapat dengan dasar keimanan dan ketaqwaan. Lembaran sejarah telah membuktikan bahwa kemuliaan hakiki hanya didapatkan oleh orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Sedangkan orang-orang yang ingkar hanya akan mendapatkan kemuliaan yang semu.
            Sejarah generasi para sahabat nabi telah membuktikannya. Mereka menjadi pribadi-pribadi mulia yang luar biasa. Mereka adalah gudang pengetahuan dan kunci peradaban ilmu. Memang, jika dihitung sekilas mereka hanya orang-orang biasa. Contohnya saja para ahlu shuffah. Mereka hanya orang-orang biasa yang tinggal di teras masjid Nabawi. Namun ternyata, banyak diantara mereka meraih kemuliaan, dan salah satunya adalah Abu Hurairah yang dikenal sebagai perawi hadits termashur. Ada lagi Anas bin Malik dan Abdullah bin Mas’ud, Bilal bin Rabah, dan Abdullah bin Ummi Maktum.
            Anas bin Malik hanyalah budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, ternyata beliau juga dikenal sebagai ahli agama yang terkenal dalam sejarah Islam.
            Abdullah bin Mas’ud hanyalah seorang penggembala domba dan pelayan Uqbah bin Abu Mu’ith yang akhirnya membaktikan dirinya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bertubuh pendek dan betisnya pun kecil. Namun, ternyata kedudukannya dijamin oleh Rasulullah,
            “...jika kedua betis ini ditimbang, maka niscaya kedua betis ini lebih berat dibandingkan gunung Uhud”
            “Ambillah Al Qur’an dari empat orang, Abdullah bin Mas’ud, Salim Maula Abu Hudzaifah, Mu’adz ,dan Ubay bin Ka’ab.” (Muttafaqun ‘alaih)
            Beliau juga dikenal akan luasnya ilmu yang dimilikinya, sehingga dikatakan sebagai al-imam al-Hibr (pemimpin yang alim, yang shalih). Faqihu al-Ummah (Fakihnya ummat). 
            Bilal bin Rabah hanyalah mantan budak belian biasa yang berasal dari Habasyah. Dirinya hidup sebatang kara di Makkah dan Madinah. Statusnya hanya sebagai perantau asing dari bumi Afrika. Kulitnya yang hitam legam menambah kesan ‘kebudak-budakkan’ pada dirinya. Namun siapa sangka, ternyata dirinya diangkat sebagai muadzin pertama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Siapa sangka, bahwa ternyata dirinyalah yang berhasil membunuh mantan majikannya, Umayyah bin Khalaf. Dirinya mendapat kemuliaan dari Islam dan menjadi pribadi luhur yang namanya dikenal dunia sebagai orang yang pertama kali mengumandangkan panggilan Allah.
            Abdullah bin Ummi Maktum hanya seorang yang lemah dan buta. Tapi siapa yang menyangka bahwa ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tempat istimewa baginya sebagai pemimpin Madinah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi berperang.
            Sementara itu, banyak pula manusia-manusia besar yang menjadi mulia karena mereka mencari kemuliaan itu dengan cara yang tidak mulia. Lihatlah Fir’aun dan Haman! Siapa yang tak mengenal mereka? Mereka adalah orang-orang mulia di kaumnya, bahkan dunia. Kaisar Romawi dan Persia juga adalah manusia-manusia mulia. Namun, kemuliaan mereka tidak mampu bertahan lama. Kemuliaan mereka runtuh dan hanya menyisakan puing peradaban besar mereka. Mereka memang mulia, namun kemuliaan mereka tidak didasari atas ilmu. Dan sekarang, apa pengaruh mereka? Mereka hanya menyisakan puing-puing bangunan megah mereka. Namun mereka tidak mampu mencetak generasi-generasi mulia penerus mereka.
 Berbeda sekali dengan khilafah Islamiyah yang berhasil membangun dan menghasilkan generasi-generasi pembangun dunia dengan ilmu mereka. Nama-nama seperti Ibnu Sina, Jabir bin Hayyan, dan al-Idrisi mungkin jarang kita dengar gaungnya. Namun tahukah kamu? Bahwa mereka adalah setetes embun ilmu dari lautan pengetahuan umat Islam di dunia. Namun lihatlah pengaruhnya! Buku-buku kedokteran Ibnu Sina tetap dipakai oleh Eropa hingga berabad-abad lamanya setelah kematiannya. Begitu pula Jabir bin Hayyan yang telah meletakkan pondasi ilmu kimia. Buku-bukunya pun mempengaruhi pemikiran-pemikirannya tetap bertahan dan bahkan mempengaruhi pandangan ilmuan besar lainnya, John Dalton dalam teori atomnya. Begitu pula al-Idrisi dengan kemampuannya berhasil membuat peta dunia yang digunakan oleh para penjelajah hingga bertahun-tahun. Dirinya berhasil mempelopori dunia penjelajahan dunia dengan peta buatannya.
Lihatlah! Generasi-generasi sebelum kita telah memegang api ini dengan tangan mereka hingga berhasil menerangi dunia. Dan sekarang api itu bergulir ke tangan kita. Sekarang hanya tinggal dua pilihan bagi kita, apakah kita akan membesarkan nyala apinya hingga menerangi semesta? Atau malah kita akan memadamkan cahanya hingga dunia gelap gulita?
“...Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. al-Hujuraat: 13)
“Dan barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam Keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, Maka mereka Itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang Tinggi (mulia),” (Q.S. Thaahaa: 75)
Wallahu a’lam

Artikel Terkait



0 komentar:

Posting Komentar