Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah...-QS. At Taubah: 100-
Ideologi Syi’ah sudah mulai gencar
disebarkan oleh para penganutnya di Indonesia. Tidak hanya itu, tokoh-tokoh
Syi’ah pun saat ini sudah mulai berani menampakkan taringnya ke permukaan. Sebut saja Tajul Muluk yang menuai
kontroversi akibat menyebarkan ajaran Syi’ahnya dengan menghina para sahabat
Nabi. Memang, dalam aqidah mereka, para sahabat –semoga Allah meridhai mereka-
telah murtad kecuali beberapa saja [1]
sehingga wajar bila mereka dan ulama-ulama mereka dengan serampangan menghina,
melecehkan, hingga melaknat para sahabat dan tidak ketinggalan isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [2]
Tidak hanya itu, kalangan Syi’ah di
Indonesia juga tidak mau ketinggalan dalam melaknat para sahabat Nabi –radhiyallahu ‘anhum- dalam karya-karya
mereka, sedikit diantaranya:
-Menyebut Abu Bakar dan Umar –radhiyallahu ‘anhum- sebagai iblis (Kecuali Ali. Terjemahan dari Ali Oyene-e Izadnemo karya Abbas Rais
Kermani. Penerbit: Al-Huda, 2009, hlm. 155-156)
-Menyamakan Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- dengan Paulus yang
telah mengubah teologi Kristen (Antologi
Islam; Risalah Islam Tematis dari Keluarga Nabi. Penerbit: Al-Huda, 2012,
hlm. 648-649)
-Menyatakan para sahabat telah
mengubah-ngubah agama Islam dan mereka telah murtad (Buletin Al Tanwir Yayasan
Muthahhari Edisi Khusus No. 298, 10 Muharram 1431 H)
-Menyebutkan bahwa tragedi Karbala di
mana Al Husain radhiyallahu ‘anhu
terbunuh merupakan gabungan dari pengkhianatan sahabat dan kezhaliman musuh,
yakni Bani Umayyah (Meraih Cinta Ilahi,
karya Jalaluddin Rakhmat. Depok: Pustaka IIMAN, 2008, hlm. 493) [3]
Hukum Mencela dan Menghujat Sahabat
Nabi
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka
kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah:100)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah
kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian berinfaq
emas seperti gunung uhud tidak akan menyamai satu mud (infaq) salah seorang
dari mereka dan tidak pula setengahnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Daud dan Ibnu Majah)
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“...Barangsiapa
mencintai mereka berarti mereka telah mencintai diriku, dan barangsiapa yang
membenci mereka maka berarti telah mencintaiku” (HR. Ahmad)
Dalam aqidah Islam, kita sebagai seorang muslim dituntut
untuk mencintai para sahabat Rasul dan tidak berlebihan dalam mencintai salah
satu dari mereka, kita tidak berlepas diri dari mereka, kita membenci orang
yang membenci mereka, dan kita tidak menyebut mereka kecuali dengan kebaikan.
Membenci mereka adalah agama, iman, dan ihsan. Membenci mereka adalah
kekafiran, kemunafikan, dan sikap melampaui batas [4]
Ulama Hanafiyah menyebutkan bahwa
jika seorang Rafidhi (Syi’ah) mencaci maki dan melaknat Syaikhaini (Abu Bakar dan Umar) maka dia kafir, demikian halnya
dengan pengkafiran terhadap Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, dan Aisyah –radhiyallahu ‘anhum- (juga adalah kafir).
[5]
Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Jika dia berkata
bahwa para sahabat itu berada di atas kesesatan dan kafir maka ia dibunuh. Dan jika
ia mencaci mereka seperti kebanyakan orang maka dihukum berat.” [6]
Dari kalangan Syafi’iyah berpendapat
bahwa dipastikan kafir setiap orang yang mengatakan suatu perkataan yang
ujungnya berkesimpulan menyesatkan semua ummat Islam atau mengkafirkan sahabat.
[7]
Dan ulama dari kalangan Hanabilah
menyebut bahwa siapa yang menganggap para sahabat Nabi telah murtad atau fasik
setelah Nabi wafat, maka tidak ragu lagi bahwa orang itu kafir. [8]
Cukuplah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini sebagai
penjelas,
“Barangsiapa
yang berkata kepada saudaranya, ‘hai orang kafir’ maka kata itu akan menimpa
salah satunya. Jika benar apa yang diucapkan (berarti orang yang dituduh
menjadi kafir); jika tidak, maka tuduhan itu akan menimpa orang yang menuduh.”
(HR Muslim)
“Tidaklah
seseorang menuduh orang lain dengan kata fasiq, dan menuduhnya dengan kata
kafir, kecuali tuduhan itu akan kembali kepada si penuduh jika orang yang
tertuduh tidak seperti yang dituduhkan.” (HR Bukhari)
Konsekuensi Dicelanya Para Sahabat
Nabi
Sayangnya, sebagian kaum muslimin
bersikap santai-santai saja ketika mendengar para sahabat Nabi dihujat dan
dilecehkan. Mereka tidak mengetahui betapa besarnya konsekuensi dari penghinaan
ini. Padahal bila para sahabat Nabi dikatakan telah berbuat fasik hingga kafir,
maka dari mana lagi kita akan mengambil agama kita? Dari siapa lagi kita akan
menerima hadits-hadits Nabi dan ayat-ayat Al Qur’an karena dengan kuasa Allah
melalui para sahabat inilah keduanya terjaga. Dan bila sahabat Nabi telah
berbuat zhalim bahkan hingga kafir, maka sungguh artinya agama ini tidaklah
tersisa kecuali sangat sedikit.
Ibnul Jauzi rahimahullah menjelaskan,
“Apabila seseorang telah berkata
bahwa para sahabat telah bersikap zhalim, maka putuslah harapan kita untuk
menerima syari’at agama ini. Karena tidak ada jalan antara kita dengan Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
kecuali melalui periwayatan para sahabat dan berdasarkan kepercayaan kita
kepada mereka.
Apabila kondisi yang ada setelah
wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah seperti yang mereka-mereka (Syi’ah/para pencaci sahabat) katakan,
berarti kita telah putus harapan dalam hal penyampaian riwayat dan hilanglah
apa yang kita percayai, yakni mengikuti para pendahulu yang cerdas.
Kita tidak percaya bahwa para sahabat itu tidak mampu melihat apa yang harus mereka ikuti.
Kita tidak percaya pula bahwa setelah para
sahabat Nabi mengikuti Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sepanjang hayat beliau, kemudian mereka berbalik menjauhi
syariat beliau setelah beliau wafat.
Kita pun tidak percaya bahwa tiada
yang tersisa dari agama ini kecuali sangat sedikit dari kalangan pemeluknya.
Kita juga tidak percaya bahwa
keyakinan para sahabat menjadi rusak, sehingga jiwa-jiwa manusia menjadi lemah
dan tidak mau menerima riwayat hadits sama sekali, padahal hadits adalah
mukjizat.
Sungguh, fenomena penghinaan dan
pelecehan kepada para sahabat Nabi ini merupakan bencana besar yang menimpa
syari’at Islam.” [9]
Dan hanya kepada Allah kami memohon
pertolongan.
Sumber penulisan:
-Dirasatul
Firaq, oleh Tim Ulin Nuha Ma’had Aly An Nur. Penerbit: Pustaka Arafah.
-Mengenal
dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia, oleh Majelis Ulama
Indonesia.
-Perangkap
Iblis, terjemahan dari kitab Talbis
Iblis karya Ibnul Jauzi. Penerbit: Pustaka Arafah
Selesai ditulis ketika waktu zhuhur
tiba.
Surabaya, 17 Desember 2013
__________________________________________
[1] Ar Raudhah minal Kafi VIII/245, karya
salah satu ulama Syi’ah, Al Kulaini (w. 329 H)
[2] Simak
videonya di
Tidak
hanya itu, bahkan pemimpin Revolusi Islam (Syi’ah) Iran, Imam Khomeini, dalam
kitabnya Ath Thaharah menyebutkan
bahwa Aisyah, Thalhah, Zubair, Mu’awiyah, dan orang-orang sejenisnya lebih
buruk dan menjijikkan daripada anjing dan babi (Ath Thaharah III/457)
[3] Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah
di Indonesia, oleh Majelis Ulama Indonesia.
[4] Lihat Syarah Aqidah Ath Thahawiyah, Ibnu Abil
‘Izz, hlm. 467.
[5] Lihat Fatawa Al Hindiyyah II/286
[6] Asy Syifa bi Ta’rif Huquq Al Musthafa
II/1108
[7] Raudhah Ath Thalibin VII/290 dan Mughni Al Muhtaj IV/176
[8] Mukhtashar Ash Sharim Al Maslul ‘ala Syatimi
Ar Rasul, hlm. 128
[9] Talbis Iblis, Ibnul Jauzi.
0 komentar:
Posting Komentar