Kupas Tuntas Masalah Hukum Shalat Jama' Qashar dan Hukum Shalat bagi Musafir

16 Juni 2011
Muqaddimah
Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah pada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarganya, para shahabatnya, dan yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari akhir.
Amma ba’du:
Shalat merupakan rukun Islam yang kedua dan sangatlah penting. Saking pentingnya ibadah ini tidak boleh sekali pun ditinggalkan oleh hamba-hambaNya. Bila ada yang memiliki udzur, maka tetap wajib mendirikan shalat dengan mengambil rukhshah (keringanan dari Allah) agar mereka tetap shalat di saat kondisi apa pun. Dan umumnya masalah yang dihadapi kaum muslimin saat ini adalah shalat dalam keadaan safar (berpergian). Dan sudah seharusnya kita mengetahui tentang bagaimana Allah telah memudahkan para musafir yang hendak shalat dengan menggunakan Jama’ dan Qashar. Berikut adalah uraian yang semoga mendatangkan manfaat bagi kita mengenai shalat Jama’ dan Qashar bagi mereka yang memiliki udzur.

Makna dan Hukum Qashar
Qashar adalah meringkas shalat empat rakaat (zhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua rakaat. (Tafsir ath-Thabari 4/244)
Dasar men-qashar shalat adalah Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma' (kesepakatan para ulama). (Al-Mughni 3/104)
Allah berfirman,
"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar salatmu, jika kamu takut di serang orang-orang kafir" ( QS. An-Nisaa': 101)
Dari Ya'la bin Umayyah bahwasanya dia bertanya kepada Umar ibnul Kaththab tentang ayat ini seraya berkata: "Jika kamu takut di serang orang-orang kafir", padahal manusia telah aman ?!. Sahabat Umar menjawab: “Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal itu dan beliau menjawab: (Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimahlah sedekah Allah tersebut”” (HR. Muslim)
Dari Ibnu Abbas berkata: “Allah menentukan shalat melalui lisan Nabimu shallallahu ‘alaihi wasallam empat raka'at apabila hadhar (mukim) dan dua raka'at apabila safar" (HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud)
Dari Umar berkata: “Shalat safar (musafir) adalah dua raka'at, shalat Jum'at adalah dua raka'at dan shalatIed adalah dua raka'at" (HR. Ibnu Majah dengan sanad shahih, lihat Shahih Ibnu Majah 871)
Dari Ibnu Umar berkata:Aku menemani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar dan beliau tidak pernah menambah atas duaraka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat. Dan Allah subhanahu wa ta'ala telah berfirman :Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu." (Al-Ahzaab : 21) (HR. Bukhari dan Muslim)
Berkata Anas bin Malik: Kami pergi bersama Rasulullah dari kota Madinah ke kota Mekkah, maka beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jarak Shafar yang Dibolehkan Men-qashar
Qashar hanya boleh di lakukan oleh musafir -baik safar dekat atau safar jauh-, karena tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa di sebut safar menurut pengertian umumnya. Sebagian ulama memberikan batasan dengan safar yang lebih dari delapan puluh kilo meter agar tidak terjadi kebingunan dan tidak rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil sahih yang jelas. (Pendapat Ibn Hazm, Ibnul Qayyim, dll. Sebagaimana dalam Kitab As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 160-161, Al-Wajiz, Abdul ‘Azhim Al-Khalafi 138)
Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menetukan jarak atau batasan diperbolehkannya mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan batasan tersebut –yaitu sekitar 80 atau 90 kilo meter-, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para imam dan ulama yang layak berijtihad. (Majmu' Fatawa wa Rasail Syaikh Utsaimin 15/265)
Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampung halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya. (Kitab Al-Wajiz, Abdul ‘Azhim al-Khalafi)
Berkata Ibnul Mundzir: Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.
Berkata Anas: Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di kota Madinah empat raka’at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka'at" (HR. Bukhari dan Muslim)
Sampai Kapan Musafir Dibolehkan Men-qashar?
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan meng-qashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun para ulama yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As-sa'di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk meng-qashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang sahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajih (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:
Jabir meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari men-qashar shalat. (HR. Ahmad dengan sanad shahih)
Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari meng-qashar shalat. (HR. Bukhari)
Nafi' rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar tinggal di Azerbaijan selama enam bulan men-qashar shalat. (HR. Baihaqi dengan sanad shahih)
Dari dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya meng-qashar shalat bagi musafir (perantau) selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerahperantauan tersebut. (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin dan Irwa’ul Ghalil Syaikh Al-Albani)
Shalat Tathawwu, Nafilah, atau Shalat Sunnah bagi Musafir
Jumhur ulama (mayoritas) berpendapat bahwa tidak mengapa dan tidak makruh shalat nafilah/ tathawwu bagi musafir yang mengqashar shalatnya, baik nafilah yang merupakan sunnah rawatib (qobliyah dan ba'diyah) maupun yang lainnya. Dalil mereka adalah bahwasanya Rasulullah shalat delapan raka’at pada hari penaklukan kota Makkah atau Fathu Makkah dan beliau dalam keadaan safar. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang di syari'atkan adalah meninggalkan (tidak mengerjakan) shalat sunnah rawatib (qobliyah dan ba'diyah) saja ketika safar, dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar bahwasanya beliau melihat orang-orang (musafir) yang shalat sunnah rawatib setelah selesai shalat fardhu, maka beliaupun berkata: Kalau sekiranya aku shalat sunnah rawatib setelah shalat fardhu tentulah aku akan menyempurnakkan shalatku (maksudnya tidak mengqashar). Wahai saudaraku, sungguh aku menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta'ala telah berfirman : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu” (QS. Al-Ahzaab: 21) (HR. Bukhari. Lihat Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayyim 1/315-316, 473-475, Fiqhus Sunah 1/312-313, Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/223-229. Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/254)
Adapun shalat-shalat sunnah/nafilah/tathawwu' lainnya seperti shalat malam, witir, sunnah fajar, dhuha, shalat yang ada sebab –sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid- dan tathawwu muthlak adalah tidak mengapa dilakukan dan bahkan tetap di syari'atkan berdasarkan hadis-hadis sahih dalam hal ini. (Kitab As-Shalah, Abdullah Ath-Thayyar)
Jama’
Menjama' shalat adalah mengabungkan antara dua shalat (Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan 'Isya') dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang melakukan jama' taqdim dan jama'ta'khir.
Jama' taqdim adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat pertama, yaitu; Zhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Zhuhur, Maghrib dan 'Isya' dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama' taqdim harus dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik.
Adapun jama' ta'khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat kedua, yaitu; zhuhur dan ashar dikerjakan dalam waktu ashar, Maghrib dan 'Isya'dikerjakan dalam waktu, Isya', Jama' ta'khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94, Kitab As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 177)
Menjama' shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya - baik musafir atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan saja.
Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama' shalatnya dalah musafir ketika masih dalan perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan, turunnya hujan, dan orang sakit. (Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/310, Al-Wajiz, Abdul Azhim bin Badawi Al-Khalafi 139-141)
Berkata Imam Nawawi: “Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama' shalatnya apabila di perlukan asalkan tidak di jadikan sebagai kebiasaan." (Syarh Muslim, Imam Nawawi 5/219)
Dari Ibnu Abbas berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama antara zhuhur dengan ashar dan antara maghrib dengan isya' di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas beliau menjawab: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ingin memberatkan ummatnya. (Shahihul Jami’ 1070)
Menjama’ Jum’at dengan Ashar
Tidak diperbolehkan menjama' (menggabung) antara shalat Jum'at dan shalat Ashar dengan alasan apapun baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-, walaupun dia adalah orang yang di perbolehkan menjama' antara zhuhur dan ashar.
Hal ini di sebabkan tidak adanya dalil tentang menjama' antara Jum'at dan Ashar, dan yang ada adalah menjama' antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya'. Jum'at tidak bisa diqiyaskan dengan zhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Barang siapa membuat perkara baru dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka tertolak. (HR. Bukhari 2697 dan Muslim 1718)
Dalam riwayat lain: Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak. (HR. Muslim)
Jadi kembali kepada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama’ (menggabungnya) dengan shalat lain. (Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/ 369-378)
Jama’ Sekaligus Qashar
Tidak ada kelaziman antara jama' dan qashar. Musafir di sunnahkan mengqashar shalat dan tidak harus menjama', yang afdhal bagi musafir yang telah menyelesaikan perjalanannya dan telah sampai di tujuannya adalah mengqashar saja tanpa menjama' sebagaimana dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada di Mina pada waktu haji wada', yaitu beliau hanya mengqashar saja tanpa menjama, (lihat dalam Shifat Haji Nabi, karya Syaikh Al-Albani) dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan jama'sekaligus qashar pada waktu perang Tabuk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu melakukan jama' sekaligus qashar apabila dalam perjalanan dan belum sampai tujuan (Pendapat Syaikh Bin Baz dan ulama lain, lihat Kitab As-Shalah, Abdullah At-Thayyar). Jadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedikit sekali menjama' shalatnya karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya ketika diperlukan saja. (Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/ 308)
Musafir Shalat di Belakang Imam yang Mukim
Shalat berjama’ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat di belakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu empat rakaat, namun apabila dia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar (dua raka'at). Hal ini di dasarkan atas riwayat sahih dari Ibnu Abbas. Berkata Musa bin Salamah: Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya: Kami melakukan shalat empat raka'at apabila bersama kamu (penduduk Mekkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama musafir) maka kami shalat dua raka'at ? Ibnu Abbas menjawab: Itu adalah sunnahnya Abul Qasim (Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam)”¨ (HR. Ahmad dengan sanad shahih, lihat Irwa'ul Ghalil no 571)
Musafir Menjadi Imam bagi yang Mukim
Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia mengqashar shalatnya maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai (empat raka'at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim) meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari dua raka'at. Hal ini pernah di lakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Mekkah, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Sempurnakanlah shalatmu (empat raka’at) wahai penduduk Mekkah ! Karena kami adalah musafir.” (HR. Abu Daud)
Beliau shallallahu  alaihi wa'ala alihi wasallam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka'at setelah beliau salam. (Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269)
Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia shalat empat raka'at (tidak mengqashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar adalah sunnah mu'akkadah dan bukan wajib. (Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al- Bassam 2/294-295)
Shalat Jum’at bagi Musafir
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat Jum'at bagi usafir, namun apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum'at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat um'at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam Syafi'i, Ats-Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al-Majmu' Syarh Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370)
Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam apabila safar (bepergian) tidak shalat Jum'at dalam safarnya, juga ketika Haji Wada' Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melaksanakan shalat Jum'at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang dijama' (digabung) dengan Ashar. Demikian pula para Khulafa Ar-Rasyidun (empat khalifah) dan para sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhuma serta orang-orang yang setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum'at dan menggantinya dengan zhuhur.
Dari Al-Hasan Al-Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: “Aku tinggal bersama dia (Al-Hasan Al-Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat Jum'at"
Sahabat Anas tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jum'at.
Ibnul Mundzir -rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah Ijma' (kesepakatan para ulama') yang berdasarkan hadis sahih dalam hal ini sehingga tidak di perbolehkan menyelisihinya. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216.)
Wallahu A'lam.
(Tulisan Abdullah Shaleh Al-Hadrami, disadur dari almanhaj.or.id, diedit ulang oleh Jundullah Abdurrahman Askarillah)

Artikel Terkait



5 komentar:

  • ass,,
    disini saya mau bertanya gimana dengan shlat jqmq' dan qashar pada saat sekarang, apakah masih bisa dilakukan,,, melihat perjalanan yang jauh yang mana perjalan tersebut pada mula bisa memakan waktu sehari semalam bisa ditempuh dengan waktu yang relatif cepat(dalam waktu jam) yaitu bisa memakai pesawat,,,,
    mohon jawaban nya,,, makasih

  • Jundullah Abdurrahman Askarillah

    banyak kasus yang menggambarkan bahwa tetap bisa melakukan shalat Jama' dan qashar meski ada kendaraan yang bisa memotong lamanya waktu perjalanan. Misal ketika kita safar keluar kota. Memang benar perjalanannya hanya dua jam misalnya, tetapi untuk mempermudah perjalanan kita, shalat qashar bisa dilaksanakan selama kita berada di luar kota tsb.

    Wallahu a'lam

  • ahli seo

    Saya sudah lama ingin menulis sesuatu seperti ini di situs web pakar seo saya sendiri dan sekarang anda telah memberikan saya ide untuk menulis, terima kasih

  • Unknown

    Bagus bagusss

  • Unknown

    Bagaimana kalau kita ditempatkan kerja di luar jawa, tapi kadang 3 minggu, kadang 1 bulan gak jelas tergantung sikon pulang kampung, nanti di kampung 3-4 hari, terus berangkat lg. Demikian seterusnya sampai ada SK lg di tempat baru.

  • Posting Komentar