Kita Hidup Hanya Sementara...

5 Januari 2010

            sebenarnya postingan ini merupakan postingan dari blog baru saya, yaitu Hidup Sejenak...kunjungilah blog baru saya. Jazakallah khairan
Kita memang hidup hanya sejenak, kita tidak akan bisa hidup abadi. Mengapa? Sebab jika kita hidup abadi, maka tidak akan ada artinya seluruh aktifitas kita selama hidup kita. Tidak akan ada arti dan makna dari apa yang kita lakukan selama hidup di dunia. Tidak ada artinya shalat, puasa, zakat. Amalan-amalan itu tidak akan ada artinya jika kita tidak merasakan yang namanya mati, tidak merasakan apa yang namanya alam barzakh, tidak merasakan yang namanya alam akhirat.


            Lho, kenapa begitu? Ya, jika nanti kita mati, lalu akan dikubur. Maka, siapa yang akan menjadi teman kita? Siapa yang akan mendampingi kita selama di alam kubur? Apakah teman-teman kita? Apakah kedua orang tua kita? Apakah saudara-saudara kita? Apakah mereka semua rela untuk ikut dikubur di liang lahat hidup-hidup? Tidak.
            Lalu siapa yang nanti akan menemani kita? Yang hanya akan menemani kita adalah amalan-amalan kita.
            Lalu setelah itu manusia akan kembali dihidupkan. Manusia-manusia itu akan hidup kembali dan berjalan di muka bumi untuk mencari nabinya. Ya, mereka semua harus ikut ke dalam rombongan nabinya. Karena setiap umat pasti punya nabi. Nah, mereka semua berjalan di muka bumi ini dalam keadaan yang berbeda-beda. Ada yang berjalan dengan wajahnya, ada yang melata dengan perutnya. Itu semua tergantung dengan perbuatan mereka selama mereka masih hidup. Nah, jika kita hidup abadi, maka apakah shalat kita itu akan berarti?
            Setelah itu para manusia digiring ke padang masyhar. Lalu di sana terjadilah hari perhitungan yang dahsyat. Di mana seluruh manusia, dari zaman Nabi Adam hingga manusia yang paling akhir hidup di dunia, mempertanggungjawabkan seluruh amalannya. Tepat di atas kepala mereka terdapat matahari yang melelehkan kulit. Namun, apa yang terjadi? Ada yang keringatnya menenggelamkan dirinya, ada yang keringatnya sampai ke lututnya, bahkan ada yang merasa sejuk meskipun matahari yang membara ada di atas kepalanya. Mengapa bisa begitu? Kembali lagi, karena amalan-amalan mereka selama hidupnya. Jika kita hidup abadi, maka apa makna ibadah dan amal kebaikan kita?
            Lalu terjadilah yaumul mizan, dimana seluruh amalan mereka ditimbang. Dan di saat itu terlihat jelas seluruh amalan dalam kehidupan manusia. Saat itu amalan baik dan buruk saling ditimbang. Ada yang amalan baiknya lebih banyak dan lebih berat (meskipun sebesar dzarrah/biji sawi), tetapi banyak pula yang amalan buruknya lebih berat (meskipun sebesar seekor lalat). Mengapa bisa begitu? Karena amalan-amalan mereka selama hidup di dunia.
            Lalu setelah itu terjadilah pembagian buku. Ya, itu bukanlah buku biasa. Melainkan sebuah buku yang paling menentukan apa yang akan terjadi pada diri manusia. Buku ini lebih dahsyat ketimbang rapot, ijazah, atau sertifikat yang ada di dunia. Kitab ini adalah kita yang menentukan, apakah manusia-manusia itu akan masuk ke surga, atau masuk ke neraka. Jika mereka menerima kitabnya itu di tangan kanan, maka bergembiralah manusia itu, karena dirinya akan disambut oleh surganya Allah. Sedangkan yang menerima kitab di tangan kiri, maka celakalah dia, karena neraka yang menyala-nyala telah menanti. Seluruh manusia takut dan bimbang. Bisakah kamu membayangkan perasaan mereka? Perasaan bimbang, takut, dan cemas yang sangat dahsyat. Ada yang menerima kitabnya di tangan kanan, dan tidak sedikit orang yang menerima kitabnya di tangan kiri. Mengapa? Karena amalan mereka selama di dunia.

            Lalu setelah itu kita akan melalui sebuah jembatan yang lebarnya tidak lebih dari seutas rambut yang dibelah tujuh. Lalu mulailah orang-orang menyeberanginya. Di bawah jembatan itu ada neraka yang apinya menyala. Tetapi di sini, kembali diperlihatkan sejauh mana amalan kebaikan kita. Karena di sini, ada yang menyeberanginya secepat kilat, ada yang secepat angina, ada yang secepat burung yang terbang, ada yang merangkak, dan tidak sedikit pula orang yang jatuh ke dasar neraka itu. Mengapa bisa seperti itu? Mengapa kecepatan mereka berbeda-beda? Karena amalan-amalan mereka selama mereka hidup di dunia.
            Manusia yang berhasil melalui jembatan tadi akan tiba di pintu surga. Namun, di sana terdapat banyak pintu, ada pintu shalat, pintu zakat, pintu puasa, dll. Dan surga juga bertingkat-tingkat. Ada surga Firdaus, surga Adn, dll.
            Para nabi, shiddiqin, syuhada masuk surga Firdaus. Dan orang-orang lainnya masuk surga sesuai tingkatannya. Mengapa? Karena amalan-amalan mereka.

            Sementara itu, neraka juga bertingkat-tingkat. Ada neraka Jahannam yang merupakan kerak neraka, neraka Wail, dll. Manusia yang ingkar akan masuk neraka, namun sesuai tingkatannya. Neraka yang paling rendah siksaannya adalah sebuah terompah/sandal yang jika dipakai panasnya dapat mendidihkan otak. Mengapa begitu? Mengapa neraka juga bertingkat-tingkat, dan ada yang masuk neraka paling rendah siksaannya, ada juga yang paling keras siksaannya? Mengapa? Karena amalan-amalan mereka.
            Jadi, mulai sekarang. Anda sudah seharusnya mempersiapkan amalan-amalan anda. Karena anda hidup di dunia hanya sementara. Raihlah surga Allah yang paling tinggi!
Dengan cara apa? Hidup kita kan pendek?
            Dengan cara menjadikan umur yang telah diberikan oleh Allah kepada kita menjadi lebih bermanfaat dan barakah, baik bagi diri kita sendiri, atau pun orang lain.
             Visit  My new Blog! 
            
             Wallahu a’lam

Artikel Terkait



2 komentar:

  • Agama dan Media

    Kita di dunia ini hanya bertamsya saja, karena rumah kita yang asli adalah alam akhirat. Apakah dengan bertamasya di dunia yang indah ini akan membuat kita lalai terhadap rumah kita atau kita bertamasya untuk mencari bekal di rumah kita kelak.

    Mohon kemantar baleknya di blog ana.

  • eghaattacker

    memang berbicara tentang hidup ini tiada lain tempat mengadu!! Kepada Allah kita semua kemabali..
    Blog yang mantapa mAs...

  • Posting Komentar