Sudah Mengaku Bersyukur?

3 September 2011

...Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji
(QS. Luqman: 12)
            Pria itu berjalan petantang-petenteng. Gaya parlente, baju mewah, langkah congkak, harta berlimpah, budak dan dayang-dayang dengan setia mendampingi di belakangnya. Hampir semua orang takjub padanya sembari berkata, “Semoga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun, sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar
            Ya, Qarun nama pria penikmat dunia itu. Perlambang kesohoran dan kemegahan di zamannya. Bayangkan, kunci-kunci hartanya tidak dibawa dengan dimasukkan kantong seperti sekarang, tapi kunci itu bahkan sampai dipikul oleh orang-orang yang kuat. Kuncinya saja sudah sebesar itu, bagaimana dengan gudang hartanya?
            Pesaing Fir’aun dan Haman dalam hal keduniaan ini dengan sombongnya memamerkan apa yang ia ‘miliki’ kepada kaumnya. Melihat adegan itu, berkatalah kaumnya, “Janganlah kamu terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

            Tak tahan dinasihati seperti itu, kupingnya panas. Ia memuntahkan perkataan yang menjadi trademark adalam kisah ini, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Pernyataan sombong, menginkari adanya ‘tangan lain’ dalam kesuksesannya. Bahkan Rabb dan rasa syukur seakan telah ia lupakan.
            Tak menunggu lama, adzab itu rupanya turun juga. Qarun beserta hartanya habis tertelan bumi, menyisakan jejak kemegahan yang menyesakkan. Maka berkatalah orang-orang yang kemarin memimpikan kedudukan Qarun, “Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya. Kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang- orang yang mengingkari (nikmat Allah)
---000000---
            Cerita di atas telah Allah kisahkan dalam Al-Qur’an surah Al-Qashash ayat 76-82. Allah abadikan kisah ini untuk dijadikan pelajaran bagi manusia. Bagaimana seorang hamba yang telah Allah beri nikmat padanya namun ia menginkari bahkan tidak bersyukur kepada Rabbnya, ia lupa bahwa apa yang ada di tangannya ialah milik Allah, ia tidak mengetahui dari siapa rizki itu sebenarnya. Maka apa yang terjadi?
...dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih
(QS. Ibrahim: 7)
            Lalu, apa yang harus kita perbuat dengan nikmat Allah? Tentu saja dengan mensyukurinya. Karena sesungguhnya Allah telah berjanji,
Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu...
(QS. Ibrahim: 7)
            Syukur, Sebuah Totalitas Ibadah
            Aisyah pernah bersaksi berkata bahwa suaminya tercinta, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, biasa shalat malam hingga bengkak kedua kakinya.
            Ketika di suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun untuk shalat malam hingga kaki beliau bengkak karenanya, dikatakan kepada beliau, “Allah mengampuni dosa-dosamu terdahulu dan yang kemudian, mengapa engkau masih shalat seperti itu?”
      Apa jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika dipertanyakan mengenai ‘keras’nya ibadah beliau? beliau menjawab,
Apakah tidak sepantasnya bagiku menjadi hamba yang bersyukur?
(HR. Bukhari, Kitab Tahajud Bab 6 no. 587)
            Sebuah bukti bahwa syukur bukanlah diwujudkan hanya dengan mengucapkan hamdalah semata, bukan hanya sujud syukur saja, tetapi syukur adalah bagaimana kita beribadah kepada Allah secara optimal dengan apa yang telah Allah berikan kepada kita.
     Kita sering mengaku bersyukur bila diberikan sesuatu kita spontan mengucapkan ‘Alhamdulillah’, kita sering mengaku telah bersyukur bila mendapatkan sesuatu lalu kita langsung jatuh bersujud di hadapanNya, kita mengaku bersyukur ketika mendapatkan nikmat lalu kita menangis terharu sambil menyebut namaNya.
            Lalu, setelah itu?
            Hanya itukah yang kita sebut syukur?
     Apakah setelah itu kita tidak lagi menyebut namaNya, mengagungkan asmaNya, memakmurkan masjidNya, membaca kitabNya, menjalankan apa yang diperintahkanNya, dan menjauhi laranganNya?
            Apa kita bersyukur tanpa adanya perubahan dalam diri kita?
            Ikhwah fillah, syukur yang hanya sekadar hamdalah saja maka itu bukanlah syukur yang sebenarnya. Lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang kakinya bengkak karena shalat malam. Meski beliau telah dijamin masuk surga dan dibebaskan dari dosa serta api neraka maka apakah Nabi kemudian hanya duduk berleha-leha? Tidak.
            Justru Nabi menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya bersyukur, yaitu dengan meningkatkan kualitas serta kuantitas ibadah kepada Allah. 
            Sungguh, begitu banyak nikmat Allah yang telah luput kita ingat dan kita lewati begitu saja tanpa ada proses bersyukur di dalamnya. Pantas kalau Allah terus mengulang-ulang firmanNya,
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
(QS. Ar-Rahman: 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47)
            Ingatlah, betapa banyak nikmat Allah kepada anda. Mulai dari nikmat iman, sehat, harta, keamanan, perut yang kenyang dan tidak kepayahan. Tapi pernahkah dalam kondisi yang nyaman itu anda mengingat Allah? Pernahkah anda menggunakan seluruh nikmat itu untuk beribadah padaNya?
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
(QS. Ali Imran: 190-191)
Atau justru segala kenikmatan itu telah membuat kita lalai? Apakah dengan suasana yang nyaman itu telah membuat shalat kita tidak lagi khusyuk? Apakah fisik yang sempurna itu telah membuat anda berbangga, apakah dengan harta yang berlimpah itu anda berlaku sia-sia?
Ke mana selama ini anda gunakan kaki anda untuk melangkah? Kaki yang sempurna itu jangan-jangan hanya sampai ke tempat maksiat. Untuk apa selama ini anda gunakan tangan yang bagus untuk bekerja? Jangan-jangan hanya untuk membangkitkan kemarahan Rabb alam semesta. Ke mana selama ini mata yang tanpa cacat ini anda gunakan? Jangan-jangan hanya untuk melihat yang tidak-tidak. Ke mana selama ini lisan yang sehat ini kita gunakan? Jangan-jangan hanya untuk menggunjing semata.
Ikhwah fillah, kali ini sudah saatnya kita benar-benar bersyukur dengan berbagai karuniaNya, jangan lagi kita lupa bahwa kita tiada apa-apanya jika bila dibandingkan Allah, dan kita bukan apa-apa jika bukan karena nikmat dan karuniaNya.
Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.
(QS. Al-A’raaf: 10)
            Wallahu a’lam
Bogor, 3 September 2011 M
5 Syawwal 1432 H


Artikel Terkait



0 komentar:

Posting Komentar