Melawan Akal Para Ateis

1 Juni 2010

Ateisme menuntun manusia kepada akal sehat, filosofi, kearifan alam, hukum, dan reputasi; yang salah satu atau semuanya menuntun pada kebajikan moral di luar kebiasaan, meskipun agama telah musnah; tetapi takhayul agama menurunkan semua ini dan mendirikan monarki absolut dalam pikiran manusia
-Francis Bacon-
Suatu hari saya berbincang-bincang dengan salah seorang sahabat saya di kelas X-7. Dan dia berkata pada saya bahwa sesungguhnya semua orang itu bisa menjadi ateis. Lalu saya pun bertanya,
“lho, kenapa?”
Lalu dia menjawab dengan satu jawaban yang sangat tepat, yaitu karena manusia terlalu menggunakan akal. Dirinya sendiri sering berpikir demikian sehingga dirinya pernah bertanya pada dirinya sendiri, “Apakah Allah itu ada?”.
 Lalu, setelah berbincang-bincang cukup lama, saya pun dapat menarik kesimpulan bagaimana seseorang itu bisa menjadi seorang ateis.
“Karena seluruh yang ada di dunia ini dia pikir secara keseluruhan dengan menggunakan akal. Hingga akhirnya menjadikan dirinya berpikir terlalu rasional sehingga akhirnya memikirkan apa-apa yang tidak dapat dijangkau oleh nalarnya sendiri. Hingga akhirnya dirinya berpikir bagaimana campur tangan Tuhan dalam kehidupan. Dan pada akhirnya, orang-orang yang berpikir terlalu rasional dan menggunakan akal dengan berlebihan akan berpikir bahwa Tuhan itu tidak ada”
Agama Tidak Bisa Diukur dengan Akal
Sebenarnya, berpikir menggunakan akal secara berlebihan merupakan cara pikir yang menyesatkan. Dan dalam sejarah, begitu banyak kehancuran dari bangsa masa lalu yang diakibatkan akal mereka. Contohnya saja peradaban Yunani, tempatnya para filsuf. Pada akhirnya mereka mengalami kehancuran yang berangkat dari pemikiran mereka yang terlalu menggunakan akal.
Sebenarnya, salah satu bentuk kesempurnaan manusia adalah karena manusia diberi akal. Manusia dianugerahi akal agar manusia bisa memilah dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, serta mana yang haq dan mana yang batil.
Tetapi yang terjadi saat ini adalah kebalikannya. Banyak manusia yang menggunakan akalnya untuk menyerang kebenaran, untuk menggugat agama dan ketuhanan, untuk mencampuradukkan mana yang baik dan mana yang buruk. Apakah hal itu dapat dibenarkan? Tentu saja tidak! Karena sesungguhnya itu berarti kita telah melawan Allah, Rabb semesta alam! Kita telah menyalahgunakan pemberian Allah ini.
Dan bahwasanya: orang yang kurang akal daripada kami selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah
QS al-Jin: 4
            Jika kita mengukur seluruh dunia ini dengan akal, maka sesungguhnya kita tidak akan mampu untuk menjangkaunya. Apalagi masalah agama. Memang agama itu masuk akal. Tetapi sesungguhnya merupakan hal yang masuk akal jika agama dan seluruh perkara lainnya di dunia tidak semuanya bisa dijangkau akal, karena sesungguhnya kita hanya manusia yang akalnya terbatas. Tidak seperti Allah yang Maha Mengetahui segalanya.
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu
QS al-Hadiid: 3
            Akal dan Hidayah
            Sesungguhnya berapa banyak orang di luar sana yang memiliki kecerdasan luar biasa namun pada akhirnya mereka tidak mampu menggunakan kecerdasan mereka dengan sempurna. Apa maksudnya sempurna disini? Maksudnya akal hanyalah satu perangkat yang tidak sempurna, dan kita butuh satu hal untuk menyempurnakannya. Apakah itu? Itu adalah hidayah! Petunjuk dari Allah!
            Ada kisah menarik yang dipaparkan Umar bin Khattab tentang akal dan hidayah. Dulu ketika beliau masih jahiliah, beliau pernah membuat berhala dari roti (sebagian riwayat menyebutkan kurma). Namun karena lapar, akhirnya beliau memakannya. Beliau merasa malu melakukan itu dan beliau lebih malu lagi ketika mengeluarkannya.
            Lalu, setelah mendengar kisah itu salah seorang berkata,
            “Apakah ketika itu engkau tidak memiliki akal?”
            Lalu Umar pun menjawab dengan jawaban yang diabadikan sejarah,
            “Wahai anakku, sesungguhnya saat itu aku memiliki akal. Tetapi aku tidak memiliki hidayah”
yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal
QS az-Zumar: 18
            Lantas, Untuk Apa Akal Kita?
            Sesungguhnya, akal kita itu digunakan untuk membedakan mana yang benar dan yang salah. Lalu, akal kita sesungguhnya berguna untuk merenungi, bertafakur, berpikir, memahami tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mengambil pelajaran serta hikmah segala sesuatu.
            Seperti misalnya kehancuran bangsa-bangsa terdahulu. Bila kita mengaku berakal, maka sudah seharusnya kita merenunginya,
Dan berapa banyaknya umat-umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka yang mereka itu lebih besar kekuatannya daripada mereka ini, maka mereka (yang telah dibinasakan itu) telah pernah menjelajah di beberapa negeri. Adakah (mereka) mendapat tempat lari (dari kebinasaan)? Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.
QS Qaaf: 36-37
            Atau mungkin ketika Allah menurunkan tanda-tanda kekuasaannya yang salah satunya berupa hujan dan siklus kehidupan,
Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal
QS az-Zumar: 21
            Karena itu, sudah seharusnya kita mampu lebih merenung dan bertafakur. Agar kita bisa benar-benar memaknai hidup yang sementara ini.
            Wallahu a’lam

Artikel Terkait



0 komentar:

Posting Komentar