Sesungguhnya ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia dan paling agung kedudukannya. Setiap muslim wajib mempelajari, mengetahui, dan memahami ilmu tersebut, karena merupakan ilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentang nama-nama-Nya, sifat-sifatNya, dan hak-hakNya atas hambaNya-Syarh Ushulil Iman, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin-
Dalam
pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa tauhid itu terbagi dalam tiga
bagian: Tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid Asma’ wa shifat.
Seperti yang diketahui, bahwa Tauhid rububiyah adalah penetapan bahwa
Allah ta'ala adalah Rabb, Penguasa, Pencipta serta Pemberi Rezeki dari segala
sesuatu. Dan juga menetapkan bahwa Allah adalah Dzat Yang Menghidupkan dan
Mematikan, Pemberi Kemanfaatan dan Kemudharatan, yang Maha Esa dalam
mengabulkan doa bagi orang yang membutuhkan. BagiNya-lah segala urusan, dan di
tanganNya-lah segala kebaikan. Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada
bagi-Nya sekutu dalam hal tersebut. Dan ke-imanan kepada takdir termasuk dalam
tauhid ini[1]
Sementara itu, tauhid uluhiyah adalah mentauhidkan Allah dalam perbuatan-perbuatan
yang dilakukan hamba. Yaitu mengikhlaskan ibadah kepada Allah, yang mencakup
berbagai macam ibadah seperti : tawakal, nadzar, takut, khasyah, pengharapan,
dll. Tauhid inilah yang membedakan umat Islam dengan kaum musyrikin. Jadi
seseorang belum cukup untuk mentauhidkan Allah dalam perbuatanNya (Tauhid
Rububiyah) tanpa menyertainya dengan mengikhlaskan semua ibadah hanya kepadaNya
(Tauhid Uluhiyah). Karena orang musyrikin dulu juga meyakini bahwa Allah yang
mencipta dan mengatur, tetapi hal tersebut belum cukup memasukkan mereka ke
dalam Islam.
Terakhir, tauhid asma’ wa shifat adalah mengesakan Allah sesuai dengan Nama
dan Sifat yang Dia sandangkan sendiri kepada diriNya dalam kitabNya atau
melalui lisan RasulNya, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Yaitu
dengan menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan menafikan apa yang
dinafi’-kanNya. Tanpa tahrif
(mengubah lafazh/makna), ta’thil
(menolak sebagian atau seluruh), takyif
(menetapkan bentuk atau caranya), dan tamtsil
(menyamakan dengan makhluk) terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah.
Mengapa Tauhid Harus Terbagi
Tiga?
Namun, ada sebagian orang yang belum
mengerti mengapa tauhid ini dibagi menjadi tiga. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para
shahabatnya tidak ada yang pernah mengeluarkan pernyataan bahwa tauhid ini
terbagi ke dalam tiga bagian.
Suatu kesempatan Syaikh Ali bin Hasan Al
Halabi Al Atsari ditanya mengenai kenapa orang-orang yang mengatakan bermanhaj
dan beraqidah Salaf, membagi tauhid menjadi Tauhid
Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma’ wa Sifat. Dari manakah
pembagian ini, mengingat di dalam Al-Qur’an dan hadits tidak disebutkan. Dan
menurut kami, hal itu tidak didapati pula pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun
shahabat. Bukankah pernyataan tersebut termasuk suatu perkara baru (muhdats) dan tidak ada dalilnya?
Maka
Syaikh menjawab bahwa pembagian yang disyaratkan tersebut kedudukannya seperti
pembagian para pakar ilmu Nahwu terhadap kata dalam bahasa Arab menjadi isim (nama), fi’il (kata kerja) dan harf
(imbuhan). Apakah yang demikian itu suatu hal tercela, padahal sesuai dengan
kenyataan dan hakekat perkaranya.
Betapa
tepatnya perkataan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam risalahnya At Tahdzir hlm. 30 berkisar pembagian tauhid. Kata beliau : “Pembagian
ini adalah hasil istiqra (telaah) para ulama Salaf terdahulu seperti yang
diisyaratakan oleh Ibnu Mandah dan Ibnu Jarir Ath Thabari serta yang lainnya.
Hal ini pun diakui oleh Ibnul Qayim. Begitu pula Syaikh Zabidi dalam Taaj Al Aruus dan Syaikh Syanqithi dalam
Adhwa Al-Bayaan, dan yang lainnya.
Semoga Allah merahmati semuanya
Ini
adalah hasil telaah yang paripurna dari nash-nash syar’i , seperti yang dikenal
dalam setiap bidang ilmu. Seperti hasil tela’ah pakar ilmu Nahwu terhadap
bahasa Arab menjadi : isim, fi’il dan
harf. Dan orang-orang Arab tidak
mencela dan melecehkan para pakar Nahwu tersebut terhadap hasil telaahnya”.
Berkata
Syaikh Al-Baijuri dalam Syarh Jauharah At
Tauhid hlm. 97. Firman Allah ; ‘Alhamdulillahir rabbil ‘alamiin’, mengisyaratkan
pada pengakuan ‘Tauhid Rububiyah, yang konsekuensinya adalah pengakuan terhadap
Tauhid Uluhiyah. Adapun konsekuensi Tauhid Uluhiyah adalah terlaksananya
Ubudiyah. Hal ini menjadi kewajiban pertama bagi seorang hamba untuk mengenal
Allah Yang Maha Suci. Kata beliau selanjutnya : “Kebanyakan surat-surat
Al-Qur’an dan ayat-ayatnya mengandung macam-macam tauhid ini, bahkan Al-Qur’an
dari awal hingga akhir menerangkan dan mengejawantahkan (menjelaskan)”.
Kami
katakan : “Sesungguhnya pembagian tauhid menjadi tiga ini, dikandung dalam
banyak surat di dalam Al Qur’an Al Karim. Yang paling tampak serta paling jelas
adalah dalam dua surat, yaitu Al Fatihah dan An Naas, dimana keduanya adalah
pembuka dan penutup Al Qur’an.
Oleh
karena itu firmanNya Yang Maha Suci ;”Alhamdulillahirrabbil ‘alamiin’,
mengandung pengukuhan akan ke-rububiyah-an Allah Jalla wa A’laa terhadap seluruh makhlukNya, dan firmanNya Yang Maha
Suci : ‘Ar Rahmanir Rahiim Maliki Yaumid Diin’ di disini mengandung
pengukuhan terhadap sifat-sifatNya Yang Maha Tinggi dan nama-namaNya Yang Maha
Mulia, sedangkan firmanNya Yang Maha Suci : ‘Iyaaka Na’budu Wa Iyaaka
Nasta’iin’ di sana mengandung pengukuhan ke-ubudiyah-an seluruh makhluk
kepadaNya dan ke-uluhiyah-an Allah atas mereka.
Kemudian
berkata Imam Ibnu Athiyah (wafat ; 546H) dalam kitabnya Al-Muharrar Al-Wajiiz, juz I, hlm.75. FirmanNya : ‘Iyaaka
Na’budu’ adalah ucapan seorang yang beriman kepadaNya yang menunjukkan
pengakuan terhadap ke-rububiyah-an Allah, mengingat kebanyakan manusia
beribadah kepada selainNya yang berupa berhala-berhala dan lain sebagainya”.
Bahkan
di dalam Al Qur’an disebutkan satu ayat yang mengumpulkan seluruh jenis tauhid
tersebut.
“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan
apa-apa yang ada di antara keduanya, Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah
dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan
Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam: 65)
Syaikh
Abdurrahman bin Sa’di rahimahullah
(berkata) ketika menerangkan bentuk pendalilan dari ayat di atas:
“Ayat
ini mengandung prinsip yang agung yaitu: tauhid rububiyah, dan Allah ta’ala
adalah Rabb, Pencipta, Pemberi rezeki, serta Pengatur segala sesuatu, dan
tauhid uluhiyah wal ibadah. Allah ta’ala adalah Sesembahan yang Berhak untuk
Diibadahi. Dan sungguh Rububiyah Allah mewajibkan adanya per-ibadahan serta pentauhidanNya.
Oleh karena itu di dalam ayat tersebut terdapat fa’ dalam firmanNya. Ini menunjukkan kepada suatu sebab, yang
maksudnya: karena Allah adalah Rabb bagi segala sesuatu maka Allah pula-lah
Dzat yang pantas disembah, maka sembahlah Allah.
Termasuk
kandungan ayat tersebut adalah: berteguh hati di dalam beribadah kepada Allah
ta’ala dan ini merupakan suatu upaya yang kokoh, serta selalu melatih dan
menjaga jiwa agar selalu ber-ibadah kepada Allah ta’ala. Maka termasuk ke dalam
hal ini suatu jenis kesabaran yang paling tinggi. Yaitu sabar di dalam
perkara-perkara yang wajib dan mustahab (disukai dalam syariat), serta sabar
dari perkara-perkara yang haram dan makruh, bahkan masuk kedalamnya sabar dalam
menghadapi berbagai cobaan. Karena sabar terhadap berbagai cobaan tanpa adanya
rasa murka, dan selalu ridha darinya kepada Allah merupakan bentuk ibadah yang
terbesar yang masuk ke dalam firman Allah: “Berteguh
hatilah dalam beribadat kepada-Nya”
Ayat
ini juga menunjukkan bahwa Allah ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang
sempurna, sifat yang penuh dengan ke-agungan, serta kekuasaan yang mulia. Dalam
permasalahan ini tidak ada bagiNya sesuatu yang serupa, sepadan, yang menyamai.
Bahkan Allah ta’ala telah menyendiri dengan kesempurnaan yang mutlak dari
berbagai sudut dan sisi”[2] .
Jadi
pembagian tauhid menjadi 3 tersebut adalah pembagian
secara ilmu dan merupakan hasil telaah seperti yang dikenal dalam kaidah
keilmuan. Barangsiapa yang mengingkarinya berarti tidak ber-tafaquh
terhadap Kitab Allah, tidak mengetahui kedudukan Allah, mengetahui sebagian dan
tidak mengetahui sebagian yang lainnya.
Jadi,
apabila ketiga jenis tauhid ini tidak lengkap atau tidak sempurna diimani oleh
seorang hamba, maka hamba itu tidak sempurna imannya atau bahkan keluar dari
Islam (seperti kaum Quraisy yang mentauhidkan Allah dalam tauhid rububiyah tapi
tidak dengan tauhid uluhiyah)
Sebelumnya
pun ada beberapa ulama terdahulu membagi tauhid ini menjadi dua bagian:
Yang pertama, Tauhid
Al Ma’rifat wal Itsbat (Pengenalan dan Penetapan) yang mengandung 2
tauhid yaitu Tauhid Rububiyah yaitu mengenal Allah melalui perbuatanNya, dan Tauhid
Asma wa Sifat yaitu mengenal Allah melalui nama dan sifatNya.
Yang kedua, Tauhid
Al Iradi Ath Thalabi yaitu tauhid yang diinginkan dan dituntut, disebut
juga tauhid uluhiyah.
Akan
tetapi seiring semakin jauhnya umat Islam dari ajaran agama, sehingga banyak
terjadi penyimpangan keyakinan di dalam nama dan sifat Allah, maka Tauhid Asma’
wa Sifat disebutkan secara khusus.
Wallahu
a’lam.
Sumber
Penulisan:
Al Mukhtashar Al Mufidah fii
Bayaanii Dalaail Aqsaani At Tauhid, Syaikh Abdurrazzaq bin
Abdul Muhsin Al Abbad. Edisi Indonesia: Mengapa
Tauhid Dibagi Tiga (Ebook)
Mediamuslim.org
Muslim.or.id
Bogor, Kamis 26 April 2012. Selepas waktu dhuha
Artikel Cafe Sejenak
Footnote:
[1] Al Mukhtashar Al Mufidah fii Bayaanii
Dalaail Aqsaani At Tauhid, Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al Abbad
[2] ibid
1 komentar:
trimakasih buat ilmunya,,,, smoga mendapatkan balasan dengan seribu kebaikan,,,,
Posting Komentar