Jangan Biarkan Sunnah Mati!

8 April 2010

Suatu hari saya sedang ngobrol dengan salah seorang sahabat baik saya. Saat itu sebenarnya saya ingin pergi ke masjid untuk shalat dhuha, tetapi teman saya tadi tiba-tiba berkata pada saya,
            “Gawat! Sunnah dalam keadaan bahaya!”
            “lho, kenapa?” tanya saya penuh keheranan.
            Dan setelah beberapa lama, kami pun mulai bercerita lebar. Sahabat saya itu mungkin dalam pandangan banyak orang itu aneh: celana digulung hingga atas mata kaki. Dan sebenarnya saya pun melakukan hal yang sama, yaitu tidak isbal (celana menutupi mata kaki). Sebenarnya dirinya bercerita tentang dirinya sendiri, yaitu ketika dia dipanggil oleh salah seorang guru di sekolah saya tercinta (SMAN 1 Bogor) dan guru itu (sebut saja Mr. X) pun berbicara panjang lebar pada sahabat saya. Namun intinya hanya satu: Jangan gulung celana kamu hingga di atas mata kaki!.
            “Kita kan masuk SMA 1 itu sudah memiliki komitmen dengan peraturan sekolah. Nah, kalau begitu celananya pun harus sesuai dengan peraturan sekolah, jangan digulung-gulung sampai kayak gitu!, bla bla bla....” cerita sahabat saya menirukan ucapan Mr. X.
            Saya pun bertanya, “sudah berapa kali kamu ditegur?”
            “sudah berkali-kali. Yang pertama oleh Pak Fulan (dirahasiakan). Namun yang paling banyak adalah Mr. X”
            “ya sudah, yang sabar,” respon saya.
            Dan beberapa hari kemudian ternyata saya mengalami hal yang serupa. Ketika saya sedang berjalan di koridor sekolah, saya berpapasan dengan Mr. X. Dan melihat celana saya digulung hingga atas mata kaki, saya pun mengalami hal yang sama dengan sahabat saya: dipanggil ke ruang meeting untuk ditegur. Saya pun duduk di kursi sofa dan Mr. X berada di posisi depan saya, sekitar serong kiri depan.
            “Gin, kamu aktif di DKM?” tanya Mr. X
“ya alhamdulillah pak. Emang kenapa, Pak?” tanya saya dengan polosnya.
            “itu, kok celana kamu itu bisa digulung gitu?” tanyaya sambil menunjuk celana saya.
            “Oh, nggak, Pak. Itu, soalnya hujan, nanti takut basah gara-gara becek” jawab saya seraya menunjuk keluar yang memang saat itu sedang hujan.
            “Memang kenapa, Pak?” tanya saya lagi.
            “itu, ada orang kok celananya sampai atas mata kaki? Emang ada pemahaman Islam yang kayak gitu? Bla...bla...bla...” ucap Mr. X panjang lebar. Namun intinya, Mr. X menolak anak yang celananya ngatung hingga atas mata kaki. Lalu saya pun berkata,
            “Ya emang ada haditsnya pak. Memang pemahamannya kayak gitu.”
            “Ya kita kan sudah komitmen dengan sekolah. Kita juga punya pemahaman lagi dong. Coba, kalau pemahamannya pakai cadar masa’ ke sekolah pakai cadar? Ini kan masalah komitmen dalam menjalankan aturan sekolah. Kita sendiri juga sudah memfasilitasi untuk keagamaan juga. Tapi kan kita di sekolah, ya kita harus sesuaikan dengan sekolah, bla...bla..bla...” ucap Mr. X menjelaskan.
            Intinya, dirinya mengkritisi orang-orang yang celananya digulung, dan mungkin hal itu akhirnya berdampak dengan saya dan sahabat saya (ikhwanu fillah) yang memang terkadang menggulung celana hingga atas mata kaki.
Hal ini saya lakukan sedari SMP hingga sekarang (insya Allah) dan hal itu dilihat oleh teman-teman saya sebagai tindakan yang aneh. Saya pun disebut sebagai ‘korban kebanjiran’, dan sebutan aneh yang sifatnya melecehkan lainnya. Padahal, saya cuma mengamalkan apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sunnahkan.
“Apa yang ada di bawah kedua mata kaki berupa sarung (kain) maka tempatnya di neraka” (Hadits Riwayat Bukhari)
“Ada tiga golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan (dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal (seseorang yang menurunkan sarung atau celananya kemudian melewati kedua mata kakinya), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu.” (Hadits Riwayat Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Ibn Majah, Nasa'i)
“Isbal berlaku pada sarung, gamis, serban. Siapa yang menurunkan sedikit saja karena sombong tidak akan dilihat Allah pada hari kiamat.” (Hadits Riwayat Abu Dawud dengan sanad Shahih)
“Sesungguhnya Allah  tidak menerima shalat seseorang yang melakukan Isbal.” (Hadits Riwayat  Abu Dawud dengan sanad yang shahih. Imam Nawawi mengatakan di dalam Riyadlush Shalihin dengan tahqiq Al Arnauth hal: 358)
Dari Ibnu Umar berkata, : "Saya lewat di hadapan Rasulullah sedangkan sarungku terurai, kemudian Rasulullah r menegurku seraya berkata, "Wahai Abdullah, tinggikan sarungmu!" Aku pun meninggikannya. Beliau bersabda lagi, "Tinggikan lagi!" Aku pun meninggikannya lagi, maka semenjak itu aku senantiasa menjaga sarungku pada batas itu. Ada beberapa orang bertanya, "Seberapa tingginya?" "Sampai setengah betis."[Hadits Riwayat Muslim 2086. Ahmad 2/33]
'Ubaid bin Khalid berkata : “Tatkala aku sedang berjalan di kota Madinah, tiba-tiba ada seorang di belakangku sambil berkata, "Tinggikan sarungmu! Sesungguhnya hal itu lebih mendekatkan kepada ketakwaan." Ternyata dia adalah Rasulullah. Aku pun bertanya kepadanya, "Wahai Rasulullah, ini Burdah Malhaa (pakaian yang mahal). Rasulullah menjawab, "Tidakkah pada diriku terdapat teladan?" Maka aku melihat sarungnya hingga setengah betis”.[Hadits Riwayat Tirmidzi dalam Syamail 97, Ahmad 5/364. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Mukhtashor Syamail Muhammadiyah, hal. 69]
Dari Hudzaifah, beliau berkata. “Rasulullah  memegang otot betisku lalu bersabda, “Ini merupakan batas bawah kain sarung. Jika engkau enggan maka boleh lebih bawah lagi. Jika engkau masih enggan juga, maka tidak ada hak bagi sarung pada mata kaki” [Hadits Riwayat. Tirmidzi 1783, Ibnu Majah 3572, Ahmad 5/382, Ibnu Hibban 1447. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah 1765]
Ya, padahal dalil-dalilnya telah jelas, namun mengapa masih banyak orang (khususnya kaum laki-laki) yang enggan melaksanakannya? Bahkan mencibirnya (seperti Mr. X)?
Saya berbicara di sini mengenai penegakkan sunnah. Bayangkan! Salah satu sunnah nabi yang sudah seharusnya diteladani malah ditolak. Bahkan kita harus memilih peraturan sekolah dibandingkan peraturan manusia termulia di dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mencontohkan kebaikan kepada kita, namun mengapa kita masih belum mau dan belum mampu untuk melaksanakannya?
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. al-Ahzab: 21)
Ini hanya satu sunnah, bagaimana dengan nasib sunnah yang lainnya? Masih adakah manusia yang melaksanakan sunnah nabi itu secara keseuruhan dan sempurna dalam kehidupannya? Kita mengaku sebagai ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kita tentu mengharapkan syafaatnya bukan? Namun bagaimana kita bisa mendapatkan syafaat di hari kiamat kelak jika kita ternyata menelantarkan sunnah?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sekarat di ujung hidup beliau berkata,
“Ummati...ummati...ummati...”
Yang artinya,
“Umatku...umatku...umatku...”
Lihatlah wahai kaum muslimin! Bagaimana Nabi mencintai kita hingga akhir hayatnya pun tetap mengingat kita. Cinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada kita sebagai umatnya tentulah sangat besar.
“Setiap nabi mempunyai doa yang digunakan untuk kebaikan umatnya. Sesungguhnya aku menyimpan doaku sebagai syafaat bagi umatku pada hari kiamat” (HR Muslim)
Lihatlah wujud kecintaan Nabi kepada kita! Lalu sekarang, mampukah kita membalas cinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita? Tentu saja bisa. Lalu bagaimana caranya? Ikuti dan hidup dengan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Namun ternyata saat ini telah banyak cara hidup ala Nabi yang telah hilang dalam kehidupan kaum muslimin. Banyak di antara kaum muslimin yang ternyata lebih memilih cara hidup orang lain dibandingkan cara hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sosok Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak lagi menjadi trendsetter bagi sebagian besar kaum muslimin. Dan mereka lebih memilih cara hidup dan tradisi kaum kuffar, sekular, dan liberal. Padahal, yang mereka ikuti itu tidak mampu membawa satu manfaat pun bagi diri mereka baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, orang-orang yang mengikuti cara hidup Nabi akan memegang dunia (bi idznillah) dan selamat di akhirat.
Lihatlah sosok para sahabat Nabi. Mereka mengikuti seluruh gerak-gerik Nabi, dari cara berjalan, berbicara, tata krama, tidur, dll. Dan akhirnya, mereka mampu berjalan di muka bumi ini sebagai pribadi yang mulia layaknya Hamzah yang jika berjalan maka kharismanya terpancar jelas pada dirinya, mereka mampu berbicara dengan kata-kata yang bagaikan mutiara layaknya Tsabit bin Qais dengan orasinya yang membara dan Ibnu Mas’ud dengan kata-kata mutiaranya, mereka mampu bertatakrama sehingga mereka pun disanjung oleh para malaikat seperti Utsman bin Affan yang memiliki rasa malu yang tinggi hingga malaikat pun malu kepadanya, dan mereka mampu untuk tidur dengan tidur yang terpuji layaknya Umar bin Khattab yang tidur di pelepah kurma ketika datang utusan Romawi.
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (as-Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,” (Q.S. al-Jumuah: 2)
Seandainya mereka tidak mengikuti jalannya Nabi, mungkin nama mereka tidak akan harum sepanjang zaman. Jika mereka masih berada dalam kesesatan dan tidak hidup dengan cara yang Nabi ajarkan, mungkinkah mereka dikenal sejarah? Karena sesungguhnya Allah telah menjadikan sunnah nabi sebagai salah satu jalan untuk menggapai kemuliaan.
Sementara itu, bagi mereka yang tidak mengikuti jejak langkah nabi, makamerugilah ia. Dirinya hanya berjalan di muka bumi ini dengan sia-sia tanpa satu pun pahala yang ia dapatkan.
Maka dari itu, mana yang kita pilih? Cara hidup Nabi atau cara hidup orang lain?
Dan apa akibatnya jikakita tidak menjalankan sunah Rasul?
“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)” (Q.S. Ali Imran: 137)
Dan sejarah pun membuktikan tentang kisah para pendusta akan Rasul-rasul Allah,
“Kaum Nuh telah mendustakan Para rasul.” (Q.S. asy-Syu’araa: 105)
“Kaum Tsamud telah mendustakan rasul-rasul.” (Q.S. asy-Syu’araa: 141)
“Kaum Luth telah mendustakan rasul-rasul,” (Q.S. asy-Syu’araa: 160)
Kaum Nuh telah binasa akibat air bah, kaum Tsamud telah binasa akibat petir yang dahsyat, dan begitu pula kaum nabi Luth yang binasa akibat adzab Allah.
 “Semua mereka itu tidak lain hanyalah mendustakan rasul-rasul, Maka pastilah (bagi mereka) azab-Ku.” (Q.S. Shaad: 14)
“Orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasul), Maka datanglah kepada mereka azab dari arah yang tidak mereka sangka.” (Q.S. az-Zumar: 25)
Apakah kita menginginkan kebinasaan lantaran kita menolak ajaran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Tentu tidak.
Maka dari iru, sudah seharusnya saat ini kaum muslimin bangkit untuk menghidupkan kembali sunnah-sunnah Nabi ke tengah-tengah masyarakat dunia. Jangan sampai kita menghidupkan ajaran-ajaran yang justru kafir dan menyimpang dari jalan kebenaran. Kita tidak butuh menghidupkan dan menirukan gaya hidup orang-orang glamour yang belum tentu keselamatannya dunia dan akhirat, tetapi hidupkanlah sunnah Nabi yang mampu membuat kita mendapatkan syafaat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Wallahu a’lam

Artikel Terkait



0 komentar:

Posting Komentar