Barangsiapa tidak mengetahui perselisihan ‘ulama, hidungnya belum mencium bau fiqh.(Qatadah, dimuat dalam Jami’ Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Barr 2/814-815)
Sungguh heran kebiasaan ummat ini di zaman sekarang. Ketika dikatakan sesuatu yang benar maka terkadang mereka mengelak. Ketika dikatakan pendapat yang benar dan yang kuat adalah pendapat ini maka mereka mengatakan bahwa itu hanya satu pendapat saja, karena ulama Islam banyak jadi jangan Cuma ngambil satu aja.
Subhanallah, itukah sikap seorang muslim? Yang menggampangkan masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) agar melakukan semau dia? Agama ini bukanlah agama yang tidak jelas, Islam bukanlah agama yang penuh perselisihan. Kaum muslimin adalah kaum yang berdiri di atas keteguhan akan nilai kebenaran yang mutlak dan absolut. Yaitu mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan penafsiran salafushshalih. Itu saja! Standar kebenaran dalam Islam itu mudah, namun mengapa begitu banyak kaum muslimin yang sampai saat ini belum paham?
“Ah, kamu Syafi’i ya?”“saya Hanbali”“wah, kalau saya Hanafi”
Sebenarnya, memang benar tidak bisa dipungkiri bahwa ada perbedaan pendapat dalam beberapa masalah di antara para ulama, terutama masalah fiqh. Namun aqidah? Aqidah kita satu, kita sama-sama bertauhid. Jadi apa yang harus dipermasalahkan?
Khilafiyah?
Dalam agama ini memang ada perbedaan pendapat. Namun tetap saja yang harus diikuti adalah Qur’an dan Sunnah yang dipahami oleh generasi terdahulu. Setidaknya rujukan ummat Islam saat ini adalah fiqh empat madzhab yang diakui sebagai madzhab ahlussunnah, yaitu Syafi’i (Imam Syafi’i), Hanabilah/Hanbali (Imam Ahmad bin Hanbal), Hanafi (Imam Abu Hanifah), dan Maliki (Imam Malik).
Kalau masalah ini tidak perlu kita turut campur tangan. Karena kita bukan ulama sekaliber mereka. Cukup kita ikuti apa yang menjadi ijtihad, ijma’, dan keputusan ulama.
Khilafiyah, Bukan Khilafiyahisasi
Dan kini, masalah yang sering melanda ummat Islam adalah ketika ummat Islam tidak bisa memahami khilafiyah itu apa. Terkadang mereka melakukan sesuatu yang tiada dalilnya namun mengatasnamakan khilafiyah. Subhanallah, begitu ringannya mereka melakukan sesuatu yang baru namun mengatasnamakan perselisihan para ulama.
Khilafiyah baru bisa disebut khilafiyah ketika para ulama terjadi perselisihan dalam menentukan suatu masalah, bukan membuat masalah baru yang menimbulkan perselisihan. Ketika seorang melakukan satu hal yang ia katakan khilafiyah, maka seharusnya kita tanya, “pendapat yang mana?”.
Contoh adalah ketika sebagian orang menganggap bahwa dzikr berjama’ah adalah khilafiyah karena dianut oleh Imam Syafi’i dan Imam Al-Ghazali. Padahal mana dalilnya?
Dan aku memilih bagi imam dan makmum agar berdoa kepada Allah setelah selesai melakukan shalat dan melembutkan suara dalam berdzikir kecuali seorang imam yang ingin mengajarkan pada makmumnya-Imam Syafi’i, dalam Al Umm 1/111-
Apabila imam telah salam, maka wajib ia bersama ma’mum berdzikr dan tidak dengan berjama’ah-Imam Al Ghazali, dalam Al Wajiz-
Karena itu, jangan sampai kita melakukan sesuatu yang tidak ada dalilnya dengan mengatakan bahwa hal itu khilafiyah. Ingat, khilafiyah adalah hal yang rumit dan jangan sekali-kali terlalu mudah mengatakan bahwa satu masalah adalah khilafiyah jika kita belum tahu dalil dan putusan para ulama. Meskipun memang Syaikh Shalih Alu Syaikh dalam Syarh Kasyfu Syubuhat menjelaskan bahwa perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah yang tidak ada dalilnya adalah diperbolehkan. Namun sebaiknya kita mengambil pendapat di mana ulama paling banyak bersepakat tentangnya.
Khilafiyah, yang Mudah dan Sulit Ditarjih, Perbedaan Pendapat yang Lemah dan yang Kuat
Apa maksudnya? Kalau suatu masalah dibilang khilafiyah, maka statusnya bisa berubah karena sesuatu yang masih ada di dalamnya perbedaan pendapat, maka tidak ada nahi munkar di atasnya. Karena sesuatu yang perbedaan pendapat, maka dua-duanya tidak bisa didebat karena masing-masing memiliki dalil yang rajih (kuat). Dan dalam hal ini, yang harus kita kenali adalah dua jenis khilafiyah tadi yaitu yang lemah (yang mudah ditarjih atau dijelaskan) dan khilafiyah yang kuat (yang sulit untuk ditarjih.
Mengapa kita harus mengenal dua jenis khilafiyah tersebut? Karena perkataan yang mengatakan bahwa nahi munkar tidak dilakukan di atas perkara yang diperselisihkan adalah kurang tepat karena dalam masalah yang diperselisihkan sebagian shahabat mengingkari sebagian yang lain. Demikian pula para tabiin.
Sebelumnya kita harus mengenal kaidah, bahwa jika tidak ada dalil dalam masalah yang diperselisihkan maka inilah yang disebut dengan masalah ijtihhadiyyah. Adanya beda pendapat dalam hal ini diperbolehkan.
Sedangkan jika ada dalil dalam masalah yang diperselisihkan maka masih dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu perbedaan pendapat yang kuat dan perbedaan pendapat yang lemah.
Yang pertama, Perbedaan pendapat yang lemah.
Perbedaan pendapat ini adalah perbedaan pendapat yang mudah untuk dijelaskan mana pendapat yang kuat berdasarkan ijma’ atau perbedaan pendapat di mana kita bisa melihat titik terang dalam masalah ini.
Contohnya adalah perbedaan pendapat masalah mengeraskan niat dalam shalat. Pendapat ini dipegang oleh sebagian ulama Madzhab Syafi’i yang berdasarkan pendapat Az-Zubairi. Dan tentunya pendapat ini lemah karena didukung beberapa hal: kesalahpahaman Az-Zubairi (yang semoga Allah merahmatinya dan mengampuninya) dalam menafsirkan kata-kata Imam Syafi’i, Qiyas (analogi) Az-Zubairi yang lemah dan kurang tepat. (lihat pembahasan tentang mengeraskan niat dalam tulisan kami yang lain, Hukum Mengeraskan atau Melafalkan Niat dalam Shalat)
Perbedaan pendapat semacam ini masih bisa kita luruskan dengan memegang pendapat yang bersandar pada dalil yang kuat.
Yang kedua, Perbedaan pendapat yang kuat.
Perbedaan pendapat semacam ini adalah perbedaan pendapat yang sudah sulit untuk menemukan mana yang pendapatnya rajih dan mana yang tidak rajih. Karena masing-masing pendapat memiliki dalil yang kuat.
Contohnya apakah makmum memiliki kewajiban membaca al fatihah dalam shalat jahriah. Perbedaan pendapat dalam hal ini kuat. Dalil-dalil yang ada nampak bertentangan. Ada ulama yang berpendapat ini, ada juga yang memilih itu. Meski pendapat mayoritas shahabat dan tabiin serta para ulama peneliti semisal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Imam Ahmad, Ibnul Qayyim adalah dalam hal ini imam shalatlah yang menanggung. Karena perbedaan pendapat dalam hal ini cukup kuat maka tidak boleh ada saling menyalahkan dalam hal ini.
Atau masalah lainnya tentang hukum bersedekap di antara ruku’ dan sujud dalam shalat. Para Ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa jika bersedekap atau tidak maka hukumnya sama saja (pendapat Imam Ahmad bin Hanbal), ada yang mengatakan bahwa bersedekap di saat itu adalah sunnah (pendapat Ibn Utsaimin), dan ada yang mengatakan bahwa bersedekap ketika i’tidal adalah tidak ada contohnya (lihat Ensiklopedi Fatwa Al-Albani.pen)
Demikian risalah kami dalam menerangkan kepada segenap kaum muslimin tentang khilafiyah ini. Dan semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam
Penulis: Jundullah Abdurrahman Askarillah. Bogor, Senin 4 Juli 2011.
itu kan cuma orang orang TAKLID..
BalasHapus