Ketika Ibadah Menyelisihi Sunnah

27 Juli 2012 3 komentar
Ibadah itu tauqifiyah, maknanya ia tidak disyari’atkan sedikit pun kecuali dengan dalil dari Al Qur’an dan Sunnah. Dan apa pun yang tidak disyari’atkan dianggap bid’ah yang tertolak
-Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan-
  Suatu hari di saat setelah terbit fajar, ada seorang lelaki yang shalat di hadapan Sa’id bin Musayyab rahimahullah (wafat 94 H). Lelaki itu shalat lebih banyak daripada dua rakaat dan ia memperbanyak ruku’ dan sujudnya. Sa’id bin Musayyab pun melarang hal tersebut, maka kemudian lelaki itu bertanya, “Wahai Abu Muhammad (panggilan Sa’id bin Musayyab), apakah Allah akan menyiksaku karena shalat?”
              Kemudian Sa’id bin Musayyab menjawabnya, “Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyelisihi sunnah” (Sanadnya Shahih: Diriwayatkan Ad Darimi, ‘Abdurrazzaq, dan Baihaqi. Lihat Irwaul Ghalil, Syaikh Al Albani)

Karena Semua Ada Hikmahnya

12 Juli 2012 0 komentar
Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum Dia menguji mereka. Barangsiapa yang ridha niscaya ia akan mendapatkan ridha-Nya. Barangsiapa kesal dan benci niscaya ia akan mendapatkan kemurkaan-Nya
-HR. Tirmidzi-
Kini, mari kita sejenak menengok sejarah kita di belakang. Kita mundur kembali ke masa Daulah Bani Umayyah. Saat itu hiduplah seorang lelaki yang tinggal di Bashrah. Ia merupakan salah satu komandan perang bawahan Ubaidillah bin Ziyad (gubernur Kufah dan Bashrah). Suatu hari lelaki itu jatuh dari atap rumahnya hingga menyebabkan kedua kakinya patah. Tak ayal, hal itu merupakan musibah yang berat bagi sang komandan. Bayangkan, sebelumnya ia adalah seorang komandan perang yang gagah perkasa, namun dalam sekejap berubah menjadi seorang yang bahkan berdiri saja tidak bisa.
Maka Abu Qilabah datang untuk menjenguknya, ia berkata pada sang komandan, “Aku berharap semoga engkau mendapatkan kebaikan.” Ia menjawab, “Wahai Abu Qilabah, kebaikan apa yang didapatkan dari dua kakiku yang patah semua?” Abu Qilabah menjawab, “Apa yang tertutupi dari dosa-dosamu jumlahnya akan lebih banyak.

Di Manakah Allah?

11 Juli 2012 15 komentar
Dasar tauhid dan ruhnya adalah keikhlasan dalam mewujudkan cinta kepada Allah. Cinta merupakan landasan penyembahan dan peribadatan kepada-Nya, bahkan cinta itu merupakan hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya juga sempurna
-Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Al Qaulus Sadid, hlm. 110-
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Salah satu tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah dengan kesempurnaan cinta dan kehinaan diri. Apa itu cinta? Cinta tidak bisa didefinisikan. Jika didefinisikan maka akan semakin rancu. Apabila diakatakan ‘cinta’ tentu semua orang bisa memahaminya. Allah Ta’ala dicintai bukan karena sesuatu yang lain, Allah dicintai dari berbagai sisi. Seluruh hati diciptakan dengan tabiat cinta kepada siapa saja memberinya nikmat dan bersikap baik kepadanya. Maka bagaimana dengan dzat yang seluruh kebaikan berasal darinya? Tidak ada satu nikmat pun yang dirasakan makhluk kecuali berasal dari-Nya.