Beradab dan Berakhlak dalam Berdakwah

30 Oktober 2011 1 komentar

Tidak boleh melakukan amar ma’ruf nahi munkar kecuali orang yang di dalam dirinya terdapat tiga hal: lemah lembut dalam menyuruh dan melarang, adil dalam menyuruh dan melarang, dan mengetahui terhadap yang dia suruh dan (dia) larang
-Sufyan Ats Tsauri, Jami’ul Ulum wal Hikam (II/256)-
Kita terkadang melihat ada beberapa orang yang mengenakan peci, baju koko, sarung atau celana pentalon. Di dagu sebagian dari mereka dihiasi oleh beberapa helai jenggot, mata mereka meradang. Di tangan mereka telah siap sebilah kayu untuk dijadikan pentungan. Dari jauh, masya Allah, terlihat sebagai muslim sekali. Mungkin mereka terlihat seperti muslim yang terasingkan dan telah geram dengan berbagai kemaksiatan yang merajalela. Mereka dengan serta merta menghancurkan dan melakukan pengrusakan tempat maksiat yang selama ini membuat mereka ‘gerah’.
          Lisan mereka pun berbicara. Pekik takbir menggema ketika melakukan perusakan. Ketika di majelis mereka, lisan mereka bertutur layaknya seorang ahli debat. Hujat sana hujat sini. Bertemu dengan orang yang pemikirannya sedikit berbeda dengannya langsung bilang sesat. ‘ngaku’ memakai Qur’an dan hadits namun lisannya mengalir bak sungai yang kotor. Yang keluar hanyalah cercaan. Bukannya menjadi baik, lawan bicaranya malah menjauh darinya.

Definisi, Dalil, dan Pendapat Ulama Mengenai Ikhlas

25 Oktober 2011 6 komentar
        Definisi Ikhlas
   Ikhlas artinya memurnikan tujuan bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dari hal-hal yang dapat mengotorinya. Dalam arti lain, ikhlas adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam segala bentuk ketaatan. Atau mengabaikan pandangan makhluk dengan cara selalu berkonsentrasi kepada Al Khaaliq (Tazkiyatun Nufuus wa Tarbiyatuha Kama Yuqarrirruhu ‘Ulama As Salaf, Dr Ahmad Farid)
          Mengapa Harus Ikhlas?
     Ikhlas merupakan salah satu pilar yang terpenting dalam Islam. Karena ikhlas merupakan salah satu syarat untuk diterimanya ibadah (Kitab Tauhid I hlm. 85, Syaikh Shalih Al Fauzan)
       Hal ini bisa dilihat dari hadits Abu Umamah, yaitu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda setelah ditanya mengenai orang yang berperang untuk mendapatkan upah dan pujian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
      “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidak menerima suatu amal, kecuali jika dikerjakan murni karenaNya dan mengharap wajahNya” (HR. An Nasai dengan sanad yang jayyid/bagus. Dishahihkan Al Mundziri, dan dimuat pula oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari VI/28)

Hukum Sebutan atau Gelar Almarhum Bagi Orang yang Sudah Meninggal

16 Oktober 2011 0 komentar

Di Indonesia, ketika seseorang meninggal maka ada satu gelar yang ia raih, yaitu sebutan almarhum. Sebutan yang sangat familiar di telinga kita untuk orang yang telah mendahului kita. Tanpa sadar kita terus menggunakan kata sebutan itu. Namun, kita masih belu mengetahui dari mana asal sebutan itu, dan bagaimana sebutan itu dalam timbangan Islam.
          Sebutan Almarhum yang merupakan sebutan bagi yang sudah meninggal, diartikan sebagai “fulan yang dirahmati”. Sebagian ulama melarang sebutan ini secara mutlak. Seperti yang ditetapkan oleh Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa (Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyyah wal Ifta’) di Kerajaan Saudi Arabia lewat fatwanya.

Hukum dan Tata Cara Sujud Syukur

14 Oktober 2011 3 komentar

Di sebagian besar kalangan ummat Islam saat ini, ketika mereka diberi nikmat oleh Allah maka mereka akan mengungkapkan atau mengekspresikan rasa syukur kepada Allah dengan mengucapkan hamdalah. Atau salah satu yang paling populer juga adalah sujud syukur.
          Ketika ditimpa nikmat, maka ada yang mungkin langsung jatuh tersungkur, bersujud untuk bentuk rasa syukurnya. Sujud (seperti yang kita ketahui) adalah salah satu bentuk ibadah. Namun, bagaimana bila ibadah itu dilakukan tanpa ilmu? Maka sungguh amalan itu akan mengandung kerusakan yang jauh lebih besar daripada manfaatnya.
“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” (Umar bin Abdul Aziz, dinukil dalam Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar hlm. 15)

Memanfaatkan Waktu Ala Generasi Salaf

9 Oktober 2011 0 komentar

"Waktu akan semakin berharga bila dijalankan dengan baik, dan aku melihat waktu itu sesuatu yang paling mudah untuk kita lalaikan"
-Yahya bin Muhammad bin Hubairah, dicantumkan dalam Dzail Thabaqatil Hanabilah I/281-
    Ibnul Jauzi rahimahullah, salah satu ulama kaum muslimin mengisahkan,
      “Saya telah melihat banyak orang yang berjalan-jalan bersama saya melakukan kunjungan sebagaimana yang telah menjadi kebiasaan masyarakat. Mereka menyebut itu sebagai bentuk ‘pelayanan’. Mereka biasanya mencari tempat duduk (di kediaman seseorang) dan memperbincangkan omongan yang tidak berguna. Kadang diselingi dengan menggunjing orang lain.
        Kebiasaan semacam itu banyak dilakukan di masyarakat kita sekarang. Terkadang acara itu menjadi tuntutan yang digandrungi, seorang diri pun pergi dipaksa-paksakan; khususnya pada hari raya ‘Id. Kita bisa melihat orang-orang saling mengunjungi ke rumah teman atau kerabatnya. Tidak cukup hanya dengan ucapan selamat dan sejenisnya, tapi mereka menyelinginya dengan membuang-buang waktu seperti yang saya paparkan.

Karena Masih Ada yang Lebih Berharga

8 Oktober 2011 1 komentar

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar...
(QS. Al Baqarah: 155)
Seorang lelaki bermuram durja karena masalah yang sedang dihadapinya. Merasa kesulitan, ia berharap mendapat solusi dari salah satu tabi’in yang mulia, Yunus bin Ubaid (wafat 139 H). Setelah lelaki gundah itu mengadukan segala kesulitannya, Yunus bin Ubaid pun berkata,
“Apakah engkau senang memberikan penglihatanmu untuk dibeli dengan seratus ribu dirham)” Laki-laki itu menjawab, “Tidak” Dia berkata, “Lalu bagaimana dengan pendengaranmu?” Laki-laki itu menjawab, “Tidak”. Dia berkata, “Lalu bagaimana dengan lidahmu?” Laki-laki itu  menjawab, “Tidak”. Dia berkata, “Lalu bagaimana dengan otakmu?” Dia berkata, “Juga tidak, meskipun sedikit” Lalu ia mengingatkannya pada nikmat-nikmat Allah yang lain atas dirinya.

Bagaimana Menyikapi Ketergelinciran dan Kesalahan Para Ulama

2 Oktober 2011 0 komentar
Sesungguhnya, wajib bagi para penuntut ilmu untuk menghormati dan memuliakan para ulama, bersikap lapang dada terhadap perselisihan yang terjadi diantara mereka dan selainnya, serta memberikan udzur terhadap mereka yang melakukan kekeliruan di dalam keyakinan mereka
-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Majmû’ Fatawa wa Rosâ`il al-‘Utsaimîn (26/90-92)-
          Beberapa perselisihan ummat ini disebabkan oleh beberapa hal. Berbeda manhaj, beda madzhab, dan banyak perbedaan lainnya. Dan sekarang yang harus kita ikuti adalah manhaj salaf, manhaj (cara/jalan hidup) yang kita teladani dari pendahulu kita yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi sahabat serta yang mengikuti jalan mereka. Sebagaimana hadits,
“Sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari sahabat Al ‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455)